Bagikan:

JAKARTA - Progam Kartu Prakerja tak hanya mendapat kritik dari kalangan buruh atau pekerja, tetapi juga dari pelaku usaha. Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), menyoroti beberapa permasalahan dalam program tersebut yang telah diimplementasikan pemerintah. Salah satunya adalah tidak adanya alat ukur relevan yang dibangun untuk peningkatan produktivitas masyarakat.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP HIPMI, Ajib Hamdani mengatakan, awal mula munculnya program kartu prakerja ini berangkat dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2020. Tujuan adalah untuk peningkatan kerja masyakarat dengan produktivitas dan daya saing. Namun, dalam implementasinya, tidak ada peningkatan produktivitas dalam program Kartu Prakerja.

"Problemnya adalah tidak ada alat ukur relevan dengan semangat yang dibangun oleh Perpres ini. Ketika teman-teman (pengusaha) itu mencoba sampling, ada yang bisa dan ada yang tidak. Nah itu tidak ada ukuran jelas yang bisa masuk dan yang tidak masuk itu apa," tuturnya, dalam video conference bersama wartawan dengan tema 'Bagaimana Cara dan Syarat Menjadi Mitra Kartu Prakerja?', Senin, 27 April.

Ajib menilai, penjaringan peserta program Kartu Prakerja tidak semuanya tepat sasaran. Sebab, ada beberapa yang masuk sebagai peserta tetapi sebenarnya memang tidak membutuhkan, dan masih memiliki kecukupan uang. Namun, punya kesempatan masuk Kartu Prakerja. Karena hal ini, dia mempertanyakan tolok ukur meloloskan peserta.

"Ada teman-teman yang kemudian bisa masuk. Padahal dia tidak butuh-butuh amat walaupun ini tidak bisa mencerminkan semua hal. Ini pertama, tentang bagaimana mengukur orang yang ini benar (membutuhkan) atau tidak," jelasnya.

Tidak Menjamin Efektivitas

Permasalahan yang kedua, kata Ajib, bagaimana caranya bisa mengukur program ini efektif atau tidak bagi para peserta pelatihan program tersebut. Misalnya, berapa persen yang bisa mendapatkan kerja setelah diberikan pelatihan melalui program Kartu Prakerja ini.

"Contoh begini dari 160 ribu orang tahap pertama, yang ini sebenarnya masih ada 30 gelombang selanjutnya. Itu berapa persen yang kemudian bisa mendapatkan kesempatan kerja karena skill-nya ter-upgrade? Berapa persen yang kemudian yang bisa berbisnis? Berapa persen yang dia belum dapat kesempatan menjadi profesional, jadi karyawan lagi atau jadi berbisnis," tutur Ajib.

Menurut Ajib, alat ukur tersebut harus dapat dijawab oleh pemerintah dengan menyertakan data. Sebab, menjawab tidak dengan angka hanya menimbulkan perdebatan.

"Jadi kita tidak bisa mendebat sebuah pendapat dengan perdebatan juga. Tapi sebuah perdebatan itu akan selesai ketika kita bisa menampilkan angka," katanya.

Namun, kata Ajib, ada masalah lain yang justru muncul. Karena pemerintah dalam hal ini Kementerian Koordinator bidang Perekonomian menggandeng platform digital, maka alat ukur ini yang tidak bisa diberikan secara mandatory.

"Karena bagaimanapun platform digital itu menunggu input dari orang yang ikut pelatihan, kemudian bagaimana mereka melaporkan. Jadi after pelatihannya bagaimana," tuturnya.