Bagikan:

JAKARTA - Program Kartu Prakerja bentukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) lagi-lagi menuai kritik pedas. Kali ini, mengenai sistem seleksi pendaftar program tersebut. Sebab, beberapa pihak menilai tidak ada tolok ukur jelas yang digunakan untuk penilaian, sehingga berpotensi dinikmati oleh mereka yang bukan sasaran peserta, sebagaimana tujuan dari program tersebut.

Agustinus Edy Kristianto seorang jurnalis senior mencoba untuk melakukan investigasi terhadap program Kartu Prakerja dengan ikut mendaftar pada program tersebut. Hasilnya, ia menemukan banyak kejanggalan, mulai dari sistem seleksi yang tidak jelas hingga dugaan pelanggaran hukum.

Awalnya, Edy mendaftar Kartu Prakerja pada 16 April. Kemudian, pada 29 April dirinya sudah menyelesaikan pelatihan online yang disyaratkan oleh pemerintah untuk dapat menerima insentif uang tunai. Pada tanggal yang sama, sertifikat pelatihan online: "Jurnalistik: Menulis Naskah Berita Seperti Jurnalis Andal", keluar.

Setelah mendapatkan sertifikasi pelatihan online, Edy mengaku, meragukannya. Sebab, sertifikat tersebut ditandatangani oleh CEO Skill Academy Adamas Belva Syah Devara, di mana yang bersangkutan tidak memiliki keahlian di bidang tersebut.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana efektivitas sertifikasi tersebut? Karena sertifikat ini dikeluarkan bukan dari pihak yang kompeten dalam dunia pers seperti Dewan Pers, Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), atau Lembaga Pelatihan Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y).

"(Belva) orang yang mungkin tidak pernah berkecimpung di dunia pers, bahkan mungkin tidak pernah menulis satu judul pun sepanjang hidupnya," ujar Edy, dikonfirmasi VOI, di Jakarta, Jumat, 1 Mei.

Tak hanya itu, Edy juga membuktikan, bahwa sertifikat pelatihan online dapat keluar tanpa menyelesaikan satu video pun dari 11 yang ada di kelas tersebut.

"Saya buktikan terjadinya transaksi jual beli kelas online dalam Kartu Prakerja yang dibayar oleh uang negara Rp5,6 triliun. Saya buktikan transaksi Rp220 ribu untuk pembelian paket prakerja 'teknik menulis naskah berita seperti jurnalis andal' yang terdiri dari 11 video melalui Skill Academy,” jelasnya.

Bahkan, kata Edy, saat menyelesaikan 13 soal ujian (exam) yang hanya berdasarkan sepengetahuannya, dapat melampaui passing grade.

"Saya buktikan sendiri saldo berkurang menjadi Rp780 ribu dan saya diminta menunggu jadwal pencairan insentif, yang saya sambungkan ke rekening OVO. Saya buktikan duit negara berkurang Rp220 ribu di saldo Kartu Prakerja saya dan masuk ke rekening Skill Academy," katanya.

Anggaran yang dikeluarkan negara untuk program Kartu Prakerja ini tidak sedikit. Karena itu, Edy mengingatkan, Rp5,6 triliun yang bersumber dari APBN jangan dipakai untuk transkasi pembelian video seperti ini.

Sistem Pemilihan Peserta Karut Marut

Titik berat dari investigasi Edy, bukan soal sertifikasi yang dikeluarkan oleh orang yang tidak kompeten, tetapi lebih dari itu. Ia menyoroti, sistem pemilihan peserta program Kartu Prakerja ini tidak ada tolok ukur yang jelas. Sehingga, dapat meloloskan mereka yang bukan sasaran program tersebut.

"Terbukti, bisa meloloskan peserta seperti saya, yang bukan merupakan sasaran peserta. Saya mengisi data sebagai wirswasta, bukan korban PHK, pengurus dan pemegang saham perseroan pula," tuturnya.

Edy mengatakan, jika pemerintah ingin memberikan pelatihan, jangan ada unsur jual beli seperti ini. Menurut dia, pemerintah perlu mencari format terbaik mengenai sistem pemilihan peserta pada saat terbaik nanti, bukan di saat masyarakat sedang sulit menghadapi pandemi virus corona atau COVID-19 ini.

"Hentikan segera bisnis jual beli kelas online/ video pelatihan Rp5,6 triliun. Jika ingin semibansos, prioritaskan Rp600 ribu per bulan secara langsung ke peserta. Tambahkan Rp150 ribu insentif pengisian survei kepada peserta. Langsung. Tanpa syarat apapun," katanya.

Pengisian survei dalam kelas Kartu Prakerja, kata Edy, sama sekali tidak berguna untuk peserta. Ia menilai, survei tersebut hanya menguntungkan platform digital yang membutuhkan rating atau review untuk menjalankan binisnya melalui promosi digital.

"Di situ lah, salah satunya valuasi perusahaan akan digelembungkan. Salurkan Rp750 ribu per bulan selama 4 bulan lewat BNI, OVO, Gopay, LinkAja silakan. Namun, yang penting sampai dengan utuh kepada peserta untuk membantu mereka bertahan hidup," katanya.

Edy menegaskan, bantuan ini benar-benar harus sampai kepada peserta yang tepat, yang memang sangat membutuhkan dari Sabang sampai Merauke.

"Lupakan gimmick sertifikat digital itu. Tidak ada gunanya sama sekali," jelasnya.

Lebih lanjut, Edy juga mempertanyakan, apalagi yang dibutuhkan Presiden Jokowi sebagai bahan pertimbangan untuk menghentikan transaksi jual beli video pelatihan online dengan biaya APBN senilai Rp5,6 triliun.

"Sudah semuanya Pak Presiden. Ini sudah melampaui batas kewarasan. Salam 5,6 triliun," tuturnya.

Tak Ada Bedanya dengan YouTube

Salah satu peserta Kartu Prakerja, Juniansyah Azhari mengatakan, setelah mencoba mendaftar program ini sebanyak 10 kali, baru dirinya bisa mengisi data diri. Setelah berhasil, dan mendapat SMS yang menyatakan lolos, tahap selanjutnya adalah mengikuti pelatihan online.

"Saya ikut sesuai yang mau saya tahu saja. Barusan saya ikut pelatihan ‘sukses jadi youtuber’,” katanya saat dihubungi VOI.

Menurut Juniansyah, pelatihan yang disediakan oleh Kartu Prakerja tidak jauh berbeda dengan yang secara gratis dapat diakses pada platform YouTube.

"Iya sama saja sebenarnya (dengan YouTube). Saya karena mengejar sertifikatnya saja, jadi saya ingin ikutan," tuturnya.

Ilustrasi pencari kerja. (Angga Nugraha/VOI)

Tak hanya itu, Juniansyah mengaku, pemateri dalam kelas pelatihan online yang diikutinya tidak lugas memberikan materi mengenai kiat sukses menjadi seorang YouTuber.

"Malah kalau menurut saya, itu pematerinya juga gabut. Kurang banget cara bagaimana dia ngasih edukasinya. Seperti enggak profesional," ucapnya.

Munculnya Masalah Baru

Ekonom di Institute for Development on Economic (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, sejak awal pihaknya telah mengkritisi program Kartu Prakerja. Sebab, mulai dari konsep, program ini juga sudah bermasalah. Awalnya, program ini hadir untuk situasi normal dengan pertumbuhan ekonomi masih di angka 5 persen.

Namun, lanjut dia, dengan adanya wabah COVID-19 ini sasaran peserta program tersebut tidak tepat sasaran. Sehingga, menyebabkan pemerintah kesulitan untuk menentukan target dari program ini.

"Sekarang kan targetnya jadi bingung sendiri. Mau korban PHK, mau masih bekerja. Kedua, penunjukan 8 platform digital tersebut juga membingungkan. Karena seharusnya jangan buru-buru, dan dipaksakan," tuturnya.

Menurut Bhima, program Kartu Prakerja ini justru memunculkan masalah baru di tengah pandemi COVID-19. Karena, sasaran program ini sudah tidak jelas.

"Jelas memunculkan masalah baru. Makanya kita minta BPK, KPK, Ombudsman, KPPU untuk melakukan penyidikan lebih jelas lagi mengenai program Kartu Prakerja ini," katanya.

Di sisi lain, Bhima juga menyoroti, konten pelatihan online yang ditawarkan juga sangat dasar, di mana pelatihan serupa dapat ditemukan di platform YouTube dan dapat diakses secara gratis.

"Bentuk sertifikasinya juga jadi pertanyaan. Apakah sertifikasi yang dikeluarkan pelatihan online bisa digunakan untuk melamar kerja? Belum tentu. Karena, dari Kartu Prakerja ini belum ada perusahaan yang diajak bekerjasama untuk menampung 5,6 juta orang peserta," katanya.

Bhima menilai, sistem seleksi yang tidak jelas dan tidak memiliki tolok ukur dapat meloloskan mereka yang tidak membutuhkan. Apalagi, ada insentif yang diberikan melalui program ini.

"Ini bisa masuk kepada mereka yang masih bekerja atau mereka yang penghasilannya masih bagus di tengah pandemi. Justru mereka yang memang membutuhkan bantuan seperti korban PHK itu malah tidak dibantu. Banyak yang susah mengakses," jelasnya.

Lebih lanjut, Bhima menjelaskan, sistem program Kartu Prakerja yang berbasis online ini dapat menyulitkan sebagian masyarakat. Sebab, ada ketimpangan digital di Indonesia.

"Kalau mau akses Kartu Prakerja harus punya smartphone, punya laptop, beli paket data. Kalau seperti ini kan, jangan sampai mereka yang menjadi korban PHK tidak bisa mengakses sejak awal. Justru mereka yang berpenghasilan baik, malah dapat mengakses Kartu Prakerja karena punya internet, punya modal smartphone dan lainnya," tuturnya.