JAKARTA - Komisi XI DPR RI menyoroti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dana program Kartu Prakerja yang salah sasaran. Komisi di DPR yang membidangi urusan keuangan ini meminta Pemerintah melakukan perbaikan data penerima manfaat Kartu Prakerja.
"Komisi XI DPR dalam fungsi pengawasannya tentu akan meminta penjelasan atas temuan BPK tersebut kepada pengelola Kartu Prakerja,” kata Anggota Komisi XI DPR RI, Willy Aditya, Selasa 31 Mei.
Berdasarkan laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) semester II tahun 2021, BPK menemukan dana senilai Rp289,85 miliar dalam program Kartu Prakerja salah sasaran. Ketidaktepatan terjadi karena manfaat dana program Kartu Prakerja diterima oleh pekerja atau buruh dengan gaji di atas Rp3,5 juta.
Sementara, program Kartu Prakerja merupakan program perlindungan sosial masyarakat pada masa pandemi COVID-19 yang dikhususkan bagi pekerja terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) dan pencari kerja.
Dari temuan BPK juga dilaporkan, dasar perhitungan pada program Kartu Prakerja tidak menggunakan data yang valid, akurat dan mutakhir.
Untuk itu, selain akan meminta penjelasan kepada Manajemen Pengelola Kartu Prakerja, Komisi XI DPR juga menyarankan agar ada perbaikan dalam tata kelola program tersebut. Willy mengatakan, hal penting yang diperlukan dalam perbaikan program Kartu Prakerja yakni berkenaan dengan dasar data statistik keuangan pemerintah.
“Kita perlu mendorong kebijakan berbasis ilmiah. Karena itu data harus tepat dan terkelola dengan benar. Data dan analisa harus menjadi dasar pembuatan kebijakan,” sebutnya.
“Dengan demikian perbaikan bukan hanya parsial kasuistik. Tapi kita perbaiki secara mendasar. Saya kira kita semua punya komitmen yang sama untuk perbaikan tersebut,” tambah Willy.
BACA JUGA:
Willy mengingatkan, data yang tidak akurat berbuntut pada tidak optimalnya program. Padahal program-program perlindungan sosial di masa pandemi COVID-19 diharapkan dapat menyasar seluruh masyarakat yang terdampak.
“Kita lihat contoh yang terjadi saat ini namanya Kartu "Prakerja", dia semestinya berasal dari data angkatan kerja, jenis pekerjaan, upah, dan kalau dianalisa akan ketemu angka kerentanan by name by adress,” paparnya.
“Tapi yang terjadi Kartu Prakerja itu menyasar mulai dari yang belum kerja, bahkan yang kesulitan wirausaha di mana mereka sudah memiliki program bantuan sosial sendiri seperti BLT UMKM dan sebagainya,” sambung Willy.
Legislator dari daerah pemilihan Jawa Timur XI itu menilai, diperlukan beleid khusus dalam pelaksanaan program Kartu Pekerja. Menurut Willy, peraturan dan pelaksana sendiri bagi Kartu Prakerja akan mengoptimalkan penyelenggaraan program bantuan Pemerintah itu.
“Jelas ini membutuhkan peraturan-pelaksana yang khas masing-masing. Tidak bisa gebyak uyah. Ketika satu peraturan dipakai untuk banyak sasaran, apalagi tidak mendetail, ya wajar jika terdapat temuan BPK,” ungkap Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR tersebut.
BPK juga melaporkan kurangnya koordinasi dengan Pemda dan kementerian atau lembaga lain yang terlibat pada program Kartu Prakerja.
Willy pun menyayangkan adanya beberapa persoalan yang ditemukan pada pelaksanaan Kartu Prakerja mengingat alokasi untuk program ini di tahun 2021 cukup besar yakni Rp21,2 triliun. Perbaikan data dan tata kelola program diharapkan dapat lebih memaksimalkan Kartu Prakerja yang masih berjalan di tahun 2022 dengan nilai alokasi dana sebesar Rp 11 triliun.
“Program Kartu Prakerja, yang selama pandemi Covid-19 menjadi program unggulan Pemerintah dan diakui Bank Dunia sebagai program perlindungan sosial yang ideal perlu dievaluasi dari sisi pendataan. Kita ingin program “cash plus” ini benar-benar bermanfaat bagi rakyat,” tutup Willy.