Bagikan:

JAKARTA - Pengacara mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy, Maqdir Ismail meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lapang dada dengan keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menerima banding dan memotong hukuman yang diterima oleh kliennya.

Romahurmuziy (Romy) yang jadi terdakwa dalam kasus jual beli jabatan di Kementerian Agama awalnya dijatuhi hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta dan dikabulkan. Saat ini Romy hanya wajib menjalankan hukuman selama 1 tahun subsider 3 bulan kurungan dan denda Rp100 juta.

"Kami berharap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Jaksa Penutut Umum (JPU) dengan lapang dada menerima keputusan ini," kata Maqdir kepada wartawan saat dihubungi, Jumat, 24 April.

Meski mengapresiasi putusan Majelis Pengadilan Tinggi Jakarta, Maqdir tidak puas dengan putusan itu. Sebab, Romy masih dinyatakan bersalah atas dakwaan tersebut.

Pada perkara ini, Romy didakwa menerima uang dari Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur Haris Hasanudin dan Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik M. Muafaq Wirahadi. Dalam dakwaan itu, Romy dinyatakan menerima uang sebesar Rp325 juta dari Haris Hasanudin dan Rp91,4 juta dari Muafaq.

"Kami berterima kasih kepada Majelis Hakim yang sudah menjatuhkan putusan ini, meskipun kami tidak cukup puas. Karena, menurut kami apa yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan menurut hukum," ungkap Maqdir.

"Kalau dakwaan tidak terbukti, berapa lama orang menjalani masa penahanan harus dibebaskan oleh pengadilan. Membebaskan terdakwa menurut hukum bukan kejahatan tapi kejahatan adalah justru menghukum orang yang tidak bersalah," imbuh dia.

Dia berharap, pekan depan, Romy sudah bisa menghirup udara segar di luar Rutan KPK meski nantinya lembaga antirasuah tersebut mengajukan kasasi.

Plt Juru Bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri mengatakan, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK telah menerima salinan putusan tersebut pada Kamis, 23 April. Putusan ini, memang lebih rendah daripada putusan Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor.

KPK menghormati putusan itu dan kini masih menganalisa putusan yang memotong masa hukuman Romy. Setelah itu, hasil analisa ini akan dilaporkan kepada lima Pimpinan KPK.

"Sesuai mekanisme, tim JPU KPK akan menganalisa pertimbangan putusan tersebut dan segera mengusulkan penentuan sikap berikutnya kepada pimpinan KPK," tegas Ali dalam keterangan tertulisnya.

Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, putusan ini jauh lebih rendah dari putusan seorang kepala desa di Kabupaten Bekasi yang melakukan pemerasan pada tahun 2019 lalu. 

Menurut mereka, kepala desa itu divonis selama 4 tahun penjara karena terbukti memeras pihak lain sebanyak Rp30 juta. "Sedangkan Romahurmuziy, berstatus sebagai mantan Ketua Umum Partai Politik, penerima suap lebih dari Rp300 juta hanya diganjar dengan hukuman 1 tahun penjara," kata Kurnia.

"Pengurangan hukuman di tingkat banding terhadap Romahurmuziy benar-benar mencoreng rasa keadilan di tengah masyarakat," imbuhnya.

Kurnia menilai, sejak awal, vonis Romahumuziy merupakan yang paling rendah dibandingkan dengan vonis mantan ketua umum partai lainnya. Seperti Luthfi Hasan Ishaq, mantan Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang divonis 18 tahun penjara, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum divonis 14 tahun penjara, selanjutnya mantan Ketua PPP Suryadharma Ali divonis 10 tahun penjara, dan mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto divonis 15 tahun penjara.

"Seharusnya vonis yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi itu bisa lebih berat dibandingkan dengan putusan di tingkat pertama. Bahkan, akan lebih baik jika dalam putusan tersebut Hakim juga mencabut hak politik yang bersangkutan," tegasnya.

KPK, kata Kurnia, seharusnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) terkait putusan tersebut. Sebab, vonis rendah semacam ini bukanlah hal baru. Mengingat, di tahun 2019, ICW mencatat rata-rata terdakwa kasus korupsi hanya divonis 2 tahun 7 bulan penjara.

"Dengan kondisi seperti ini, maka cita-cita Indonesia untuk bebas dari praktik korupsi tidak akan pernah tercapai," tutupnya.