JAKARTA - Tindak kejahatan korupsi merupakan extra ordinary crime yang berdampak pada merugikan pendapatan negara. Hanya saja, hukuman yang kerap dijatuhkan pada pelaku kejahatan kerah putih ini selalu lebih ringan. Setidaknya, rerata vonis yang dijatuhkan hanya berkisar 2 tahun tujuh bulan dan tak lebih berat dari tuntutan.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, dari 1.019 perkara tindak pidana korupsi yang disidangkan di berbagai tingkat pengadilan. 1.125 orang terdakwa di antaranya mendapat sanksi hukuman pidana dan denda yang ringan, bahkan tak sebanding dengan apa yang diperbuatnya.
“Merujuk pada Pasal 10 KUHP yang menyebutkan tindak pidana pokok (penjara dan denda), temuan ICW rata-rata vonis penjara untuk koruptor hanya menyentuh angka 2 tahun 7 bulan saja. Sedangkan untuk denda sebesar Rp116.483.509.055,” kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana seperti dikutip VOI dari keterangan tertulisnya, Senin, 20 April.
BACA JUGA:
ICW juga menemukan, angka uang pengganti yang dijatuhkan kepada para koruptor oleh para hakim juga tak cukup mengganti kerugian negara. Saat ini uang pengganti dari para maling tersebut hanya berjumlah Rp748.163.509.055 sedang kerugian negara akibat dikorupsi mencapai Rp12.002.548.977.762.
Bukan saja vonis ringan, tren napi koruptor yang bebas juga meningkat tajam jumlahnya. Sebagai perbandingan di tahun sebelumnya, jumlah terdakwa koruptor yang bebas tak sampai 26 orang namun di 2019, mereka yang bebas mencapai 41 orang. Beberapa di antaranya bahkan dijatuhi vonis lepas.
Keringanan hukuman, bukanlah hal yang wajar dan biasa terjadi begitu saja. Sebab, tak sedikit hukuman yang melempem dari tuntutan awal jaksa. Bukan mustahil ada proses transaksional yang terjadi dalam pencapaian putusan hukuman. Sehingga, publik perlu mengawasi vonis semacam ini.
Di tahun 2019, ICW juga mencatat ada dua putusan yang paling kontroversial yang diketuk oleh pengadilan. Pertama adalah vonis lepas terhadap terdakwa kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI, Syafruddin Arsyad Tumenggung di tingkat kasasi.
“Majelis kasasi berpandangan bahwa perbuatan Tumenggung dalam menerbitkan SKL bukan merupakan tidak pidana sehingga mesti dijatuhkan vonis lepas,” ujar Kurnia.
Sunat vonis mungkin itu yang terjadi jika melihat kasus tersebut. Sebab, hukuman yang telah dijatuhkan untuk Syafruddin yakni 12 tahun penjara dan diperberat lagi menjadi 15 tahun kala mengajukan banding.
“Tentu menjadi keanehan tersendiri jika putusan kasasi melepaskan terdakwa dari jerat hukum,” ungkap peneliti ini sambil menambahkan adanya fakta jika salah satu majelis kasasi yang bertugas dalam perkara ini dijatuhi sanksi etik oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung.
“Kurang dari 10 persen nilai aset yang dapat dikembalikan ke kas negara,”
Kemudian terdakwa kedua yang disinggung oleh Kurnia adalah mantan Direktur PT PLN Persero, Sofyan Basir. Meski keterlibatan Sofyan dalam kasus suap yang menjerat mantan anggota DPR RI Eni Maulani Saragih dan mantan Sekjen Partai Golkar sekaligus Menteri Sosial Idrus Marham sangat terang, namun dia malah divonis bebas.
Sehingga berkaca dari beberapa hal yang sudah di sampaikan, ICW kemudian meminta agar Mahkamah Agung bisa menyoroti adanya tren vonis rendah tersebut dan menyusun pedoman pemidanaan dengan segera.
Selanjutnya, para penegak hukum baik kejaksaan maupun KPK harusnya memanfaatkan pedoman penuntutan. Tak hanya itu, mereka juga harus selalu menggunakan UU Anti Pencucian Uang ketika mendakwa pelaku korupsi.
“Sebab secara yuridis maupun realita kejahatan korupsi seringkali beririsan langsung dengan tindak pidana pencucian uang. Hal ini juga akan memberikan efek jera maksimal terhadap pelaku korupsi,” ungkapnya.
Sementara berkaitan dengan maraknya upaya Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan para napi koruptor, ICW mengatakan, MA harusnya lebih selektif dalam menilai kelayakan bukti. Jangan sampai, pengajuan ini menjadi kesempatan para koruptor untuk lolos dari hukuman mereka.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga belum angkat bicara soal temuan ICW tersebut. Lembaga ini mendorong Mahkamah Agung (MA) segera menerbitkan pedoman pemidanaan sebagai standar hakim dalam memutus perkara korupsi.
"KPK berharap Mahkamah Agung juga dapat menerbitkan pedoman pemidanaan sebagai standar majelis hakim di dalam memutus perkara tindak pidana korupsi," kata Plt Juru Bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri kepada wartawan.
Sedangkan KPK, saat ini tengah menyusun pedoman penuntutan. Sehingga nantinya, penuntutan terhadap terdakwa bisa lebih objektif dengan mempertimbangkan hal yang meringankan dan memberatkan hukuman.
Menurut Ali, pedoman ini akan dibuat untuk seluruh kategori tindak pidana korupsi seperti yang tertuang dalam UU Tipikor dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) karena sesuai dengan prioritas KPK di era Firli Bahuri, dkk yang mengedepankan case building terhadap kasus yang berdampak pada ekonomi nasional.
Selain itu ke depannya, lembaga antirasuah akan mengoptimalkan tuntutan dengan Pasal Tipikor dan Pasal TPPU untuk pengembalian aset negara atau asset recovery dan pengembalian kerugian negara.
Catatan ini juga ditanggapi oleh Mahkamah Agung (MA) lewat juru bicaranya, Andi Samsan Nganro. Dia mengatakan, rekomendasi ICW dan permintaan KPK agar lembaganya mengeluarkan pedoman pemidanaan sudah dibicarakan sejak lama sebenarnya.
Bahkan, Mahkamah Agung telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Penyusunan Pedoman Pemidanaan Perkara Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Keputusan Ketua MA-RI Nomor 189/KMA/SK/IX/2018.
"Pokja ini didukung oleh tim peneliti MaPPI FHUI. Pokja dan Tim MaPPI FHUI sudah beberapa kali mengadakan pertemuan, termasuk pertemuan dengan eksternal terkait sepertk Kejaksaan Agung, Bappenas, Kemenkumham dan KPK," kata Andi kepada wartawan.
Pembahasan Pokja ini, menurutnya sudah sampai dalam tahap kesimpulan dan finalisasi rancangan pedoman pemindaan tindak pidana korupsi. Ada beberapa aspek yang dipertimbangkan, yaitu aspek pemidanaan, termasuk keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa, serta peran dan kadar kesalahan terdakwa.
"Diharapkan Rancangan Pedoman Pemidanaan tersebut selesai tahun ini," tutup Andi.