JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menegaskan tak ada niatan untuk mengusir pegawainya. Hal ini disampaikannya, menanggapi isu pemecatan terhadap puluhan pegawai yang dinyatakan tak lolos asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Asesmen ini dilakukan terhadap 1.351 pegawai KPK dan hasilnya, sebanyak 1.274 orang dinyatakan lolos memenuhi syarat, 75 dinyatakan tidak memenuhi syarat, dan dua tidak hadir dalam tes wawancara.
"Tidak ada kepentingan KPK, apalagi pribadi atau kelompok, dan tidak ada niat KPK untuk mengusir insan KPK dari KPK. Kita sama-sama berjuang memberantas korupsi," kata Firli dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, 5 Mei.
Meski pernyataan itu muncul, namun sejumlah pihak menduga Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) ini adalah salah satu cara untuk mengusir para pegawai yang selama ini memiliki prestasi dan berintegritas. Koalisi Save KPK adalah salah satu dari banyak pihak yang menilai tes ini hanyalah akal-akalan untuk memuluskan hal tersebut.
BACA JUGA:
Koalisi yang terdiri dari sejumlah pegiat antikorupsi, termasuk Indonesia Corruption Watch (ICW) ini menilai Firli punya agenda untuk membuang pegawai yang tengah menangani perkara besar yang melibatkan oknum yang sedang berkuasa.
"Hal ini kami nilai sebagai penyiasatan hukum dari Ketua KPK yang sejak awal memiliki kepentingan dan agenda pribadi untuk menyingkirkan para pegawai yang sedang menangani perkara besar yang melibatkan oknum-oknum yang kekuasaan. Tindakan di atas dapat dikualifikasi juga sebagai tindakan pelanggaran HAM," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana yang juga tergabung dalam koalisi ini dalam konferensi pers sebelum KPK mengumumkan 75 pegawainya tak lolos seleksi.
Dirinya mengatakan, tentu ini adalah langkah yang keliru diambil oleh Firli dan membuat catatan suram komisi antirasuah di bawah kepemimpinannya bertambah panjang.
Lebih lanjut, Kurnia menyebut, Firli harus taat aturan hukum dan putusan MK yang menegaskan peralihan status kepegawaian tak boleh merugikan para pegawai komisi antirasuah.
Tak hanya itu, koalisi ini memandang, masuknya Firli sebagai pimpinan KPK memiliki agenda khusus untuk melemahkan lembaga antirasuah dari dalam.
Hal ini terlihat dari tak kunjung ditangkapnya eks caleg PDIP penyuap komisioner KPU, Harun Masiku; penghilangan nama dalam surat dakwaan kasus korupsi bansos COVID; melindungi saksi perkara kasus suap izin ekspor benih lobster; hingga menerbitkan SP3 BLBI; dan puluhan kontroversi lainnya.
Selain itu, pegiat antikorupsi ini mengatakan, KPK harusnya tidak melakukan pengujian. Apalagi, dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 juga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 yang tidak menyebutkan sama sekali tahapan seleksi saat dilakukan peralihan kepegawaian
"Kami meminta hentikan segala bentuk pembusukan KPK dengan menyingkirkan pegawai-pegawai yang tercatat dalam sejarah adalah figur yang memiliki integritas dan komiten tinggi bagi pemberantasan korupsi. Seharusnya hal-hal seperti ini diungkap dan diinvestigasi secara terbuka," ungkapnya.
Bukan dari pihak luar saja, anggapan ini juga muncul dari Wadah Pegawai (WP) KPK. Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap mengatakan, Tes Wawasan Kebangsaan merupakan bentuk pelemahan kerja pemberantasan korupsi karena berpotensi menyingkirkan pegawai yang sedang mengusut kasus besar.
"Tes ini dapat berfungsi untuk menjadi filter untuk menyingkirkan Pegawai KPK yang berintegritas, profesional serta memiliki posisi strategis dalam penanganan kasus-kasus besar di KPK," kata Yudi.
Sejak awal, sambungnya, sikap WP KPK jelas terhadap asesmen ini dengan mengirimkan surat bernomor 841/WP/A/3/2021 yang dikirimkan pada 4 Maret lalu. Mereka menilai, TWK ini berpotensi jadi sarana untuk menyingkirkan pegawai yang menangani kasus atau menempati posisi strategis.
Selain itu, tes yang jadi ukuran baru untuk lulus dan tidak lulus ini dinilai melanggar Pasal 28D (2) UUD 1945 mengenai jaminan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
"Bahkan (melanggar, red) UU KPK itu sendiri. Karena UU KPK maupun PP 14 Tahun 2020 terkait pelaksanan alih status tidak mensyaratkan adanya TWK," ungkapnya.
TWK, sambung Yudi, baru muncul dalam Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2021 yang bahkan dalam rapat pembahasan bersama tidak dimunculkan. "Hal ini menimbulkan pertanyaan, siapa pihak internal KPK yang begitu ingin memasukan TWK sebagai suatu kewajiban," ungkapnya.
Lebih lanjut, tes ini juga tidak sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas karena sejak awal tak jelas konsekuensinya.
Tak hanya itu, Yudi mengatakan hal ini juga bertentangan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang dibacakan kemarin, Selasa, 4 Mei. Dalam putusan tersebut, ditegaskan pengalihan status pegawai KPK tidak boleh merugikan hak pegawai untuk diangkat menjadi ASN.
"Berkaitan dengan hal tersebut sudah seharusnya Pimpinan KPK sebagai pemimpin lembaga penegakan hukum menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi secara konsisten dengan tidak menggunakan TWK sebagai ukuran baru dalam proses peralihan yang menyebabkan kerugian hak Pegawai KPK," katanya.
Yudi mengingatkan, pemberantasan korupsi tak bisa dipisahkan konteks institusi dan aparatur berintegritas dalam pemenuhannya. "Segala upaya yang berpotensi menghambat pemberantasan korupsi harus ditolak," tegasnya.