JAKARTA - Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi mengatakan, tes wawasan kebangsaan yang merupakan salah satu syarat alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara ( ASN) adalah bagian atau upaya pemerintah mencegah intoleransi dan radikalisme di instansi tersebut.
"Hal yang bisa dipastikan adalah justru pemerintah saat ini sedang giat menangani intoleransi dan radikalisme yang terus mengikis ideologi Pancasila," kata Hendardi melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, dilansir Antara, Kamis, 6 Mei.
Tidak hanya di lembaga antirasuah saja, namun upaya mencegah adanya intoleransi dan radikalisme juga dilakukan di lingkup pemerintah lainnya misal instansi ASN, Polri, TNI hingga ranah pendidikan yakni universitas dan sekolah-sekolah.
"Jadi siapa pun yang dalam dirinya bersemai intoleransi dan radikalisme, maka bisa saja tidak lolos uji moderasi bernegara dan beragama," ujar dia.
BACA JUGA:
Terkait informasi tidak lolosnya sejumlah pegawai KPK dalam alih status menjadi ASN, menurutnya adalah hal biasa dan tidak perlu memantik perdebatan. Ada yang lolos dan ada yang gagal merupakan hal yang lumrah.
Tes ASN biasa dilakukan secara kuantitatif dan objektif termasuk biasanya menggunakan vendor pihak ketiga. Untuk KPK yang melakukan tes adalah Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Senada dengan itu, Pakar hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih menilai alih status pegawai KPK menjadi ASN merupakan hal yang wajar.
Menurutnya, meskipun para pegawai KPK menjadi ASN tetap diberikan ruang untuk independen dalam memberantas korupsi di Tanah Air.
"Saya tidak setuju ada istilah kalau jadi ASN menjadi tidak independen sementara penyidik korupsi itu ada di polisi dan kejaksaan," katanya.
Sebelumnya beredar kabar, Novel Baswedan dkk tidak lolos dalam tes ini. Namun, hal ini belum diketahui kebenarannya. KPK hanya bilang ada 75 pegawai tidak lolos mengikuti tes kebangsaan dan tidak merinci nama-namanya.