Dewas KPK Tak Lagi Terbitkan Izin Penyadapan, Penggeledahan, dan Penyitaan
Ilustrasi (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean menyatakan pihaknya tak lagi menerbitkan surat izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. 

Hal ini sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang dilakukan KPK tak perlu meminta izin pada dewan pengawas seperti yang diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2019. Komisi antirasuah tak perlu izin tapi cukup melakukan pemberitahuan.

"Kita harus menghormati putusan MK yang sejak diucapkan telah mulai berlaku. Mulai tadi sore dan selanjutnya, dewan pengawas tidak menerbitkan izin sadap, geledah, dan sita lagi," kata Tumpak kepada wartawan, Rabu, 5 Mei.

Dia berharap pelaksanaannya tiga kegiatan yang menjadi hal utama dalam mengusut kasus korupsi ini tetap berjalan baik. 

"Tentang apakah KPK akan menjadi lebih kuat dengan dicabutnya izin tersebut, tentunya kita lihat dalam pelaksanaannya ke depan, harapannya tentu akan lebih baik," tegasnya.

Selanjutnya, meski dewan pengawas tak lagi menerbitkan izin tiga kegiatan tersebut, namun tugas lain yang harus dijalankan akan dilakukan secara efektif.

Dalam UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 disebutkan ada sejumlah tugas dan wewenang Dewan Pengawas KPK, yaitu:

1. Mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;

2. Memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan;

3. Menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi;

4. Menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini;

5. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi; dan

6. Melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala satu kali dalam satu tahun.

Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi atau judicial review Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Uji materi UU KPK ini diajukan oleh mantan Komisioner KPK Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang, serta beberapa orang lainnya.

Mereka mengajukan uji materi secara formil, yakni pengujian terhadap proses pembentukan Undang-Undang. Secara garis besar, ada tiga poin yang tak sejalan dalam syarat pembentukan UU dalam UU KPK. 

Pertama, proses pembahasan dilakukan secara terburu-buru, UU tak masuk prolegnas tapi tiba-tiba muncul. Kedua, pembahasannya tak melibatkan konsultasi publik. 

Bahkan, daftar inventaris masalah UU tidak diperlihatkan kepada KPK sebagai stakeholder utama. Ketiga, soal naskah akademik yang tidak pernah diperlihatkan ke publik. 

"Amar putusan, mengadili dalam provisi menolak permohonan provisi para pemohon, dalam prokok permohonan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata ketua MK Anwar Usman di Gedung MK sambil mengetuk palu, Selasa, 4 Mei.

Majelis hakim berpendapat permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Kemudian, Hakim MK Wahiddudin Adams memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) perihal permohonan formil uji materi UU KPK.