Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah Tunisia memutuskan untuk menarik diri dari pengadilan hak asasi manusia (HAM) Afrika. Upaya itu mendapat penolakan dari banyak kelompok HAM.

Pengumuman negara di Afrika Utara itu keluar dari Pengadilan HAM Afrika pada Kamis pekan ini waktu setempat tidak diikuti alasannya.

Hingga saat ini belum diketahui alasan Tunisia menarik diri dari pengadilan yang menegakkan piagam Afrika tentang HAM dan hak-hak individu tersebut.

Saat dimintai keterangan wartawan AFP, Kementerian Luar Negeri Tunisia hingga saat ini masih belum buka suara. 

Penarikan diri dari Pengadilan Afrika yang berpusat di Arusha, Tanzania itu, mendapat kecaman dari Liga Tunisia untuk Hak Asasi Manusia (LTDH). Menurut LTDH, keputusan Pemerintah Tunusia itu diambil secara rahasia.

"Langkah mundur yang berbahaya dan upaya untuk menarik diri dari lembaga peradilan independen yang mampu melawan impunitas dan menjamin keadilan," bunyi pernyataan LTDH.

Presiden Tunisia Kais Saied yang berkuasa sejak 2019. (dok. Wikimedia Commons)

Kelompok HAM Tunisia lainnya, CRLDHT, mengatakan penarikan diri tersebut "membatalkan komitmen bersejarah" kepada pengadilan tersebut dan merupakan "pengabaian yang memalukan" terhadap janji Tunisia untuk melindungi HAM.

“Keputusan ini kini menghilangkan kemampuan warga negara Tunisia dan organisasi hak asasi manusia untuk mengajukan kasus langsung ke pengadilan Afrika guna menantang pelanggaran negara," tulis CRLDHT.

Sejak Kais Saied menjadi Presiden pada 2019, Tunisia berubah secara cepat menjadi otoritarian. Saied tidak segan memenjarakan lawan politiknya, sementara pendukungnya sama kerasnya siap menyeruduk mereka yang mengkritik.

Tercatat, sejumlah orang yang mengkritik keras Saied  saat ini berada di balik jeruji besi. Beberapa di antaranya dalam proses dituntut dalam persidangan massal atas tuduhan berkomplot melawan negara. Banyak kelompok HAM telah mengecam upaya-upaya tersebut sebagai tindakan bermotif politik.

Pada Mei 2023, keluarga dari empat tokoh oposisi Saied ditahan, termasuk pemimpin partai Ennahdha Rached Ghannouchi. Ghannouchi kemudian meelaporkan kasus yang dialaminya ini ke Pengadilan Afrika dengan tuntutan pembebasan.

Tiga bulan berlalu, Pengadilan Afrika memutuskan siap melawan Pemerintah Tunisia atas tindakannya menahan Ghannouchi dkk. 

Pengadilan yang dianggotai lebih dari separuh negara di Benua Afrika itu juga mendesak pihak berwenang di Tunisia berhenti mempersulit para tahanan berkomunikasi dengan pengacara dan dokter mereka.