Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua DPR dari Fraksi PKB Cucun Ahmad Syamsurijal menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential treshold 20 persen perlu dicermati secara lengkap.

Sebab, menurutnya, MK mengembalikan kepada pembuat undang-undang, yakni eksekutif dan legislatif untuk merumuskan ketentuan baru dalam revisi undang-undang pemilu.

"MK mengembalikan bahwa untuk melakukan efektivitas daripada presiden threshold ini. Jadi, dikembalikan kepada nanti apa pola yang diambil oleh pembuat undang-undang antara pemerintah dengan DPR," kata Cucun, Jumat, 17 Januari.

Menurut Cucun, masih ada ruang diskusi antara pemerintah dan DPR terkait putusan MK. Bisa saja, pembuat undang-undang menyepakati ambang batas masih diperlukan, walaupun tidak 20 persen.

"Masih belum ya dikatakan fix juga bisa betul-betul 0 persen, apakah misalkan dari 20 persen diturunkan menjadi 15 persen, diturunkan jadi 10 persen. Itu kan nanti ya tidak menabrak daripada putusan MK juga," ujar Cucun.

Penghapusan ambang batas pencalonan presiden 20 persen disebut membuka ruang semua partai politik peserta pemilu untuk mengusung calon presiden-wakil presiden.

Namun, di satu sisi, Cucun memandang partai masih membutuhkan gabungan koalisi pengusungan agar kebutuhan logistik di masa pemilihan terpenuhi.

"Ya tadi, karena butuh dukungan politik, pasti lah tidak mungkin satu partai berani maju tanpa kekuatan koalisi," urainya.

enghapusan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen oleh MK mengundang berbagai reaksi.

Pujian tentu datang dari partai-partai politik kecil maupun baru, karena itu meningkatkan harapan mereka untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden mereka sendiri, tanpa perlu bergabung dengan partai politik besar.

Permintaan perubahan ambang batas pencalonan presiden tersebut diajukan empat orang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Mereka adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna, dengan mengajukan dalil bahwa Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu membatasi hak pemilih dan partai-partai kecil. Mahkamah memenangkan tuntututan mereka pada 2 Januari 2025.

Presidential threshold sudah 32 kali mengalami permohonan tinjauan ulang untuk dihapuskan, namun baru dalam permohonan ke-33 dikabulkan MK.

“Mahkamah memahami bahwa ambang batas tersebut menguntungkan partai politik besar, atau setidaknya kontestan yang memiliki kursi di DPR,” kata Saldi Isra, Hakim MK saat menyampaikan amar putusan.