Meramal Nasib Karir Politik Ahok
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mantan Gubernur DKI Jakarta, menghadiri pelantikan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin di Gedung Nusantara, Jakarta (Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sepertinya mulai genit lagi di dunia politik. Ahok didapati tengah 'PDKT' dengan menyambangi Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka di Rumah Dinas, Loji Gandrung.

Namun, pertemuan tersebut rupanya dinilai tidak istimewa bagi sebagian kalangan. Komisaris Utama PT Pertamina itu dianggap tidak punya masa depan cerah untuk mengikuti kontestasi pemilihan umum mengingat rekam jejaknya yang pernah tergores.

"Menurut saya Ahok sudah selesai sekarang," ujar Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Andriadi Achmad, Kamis 8 April.

Andriadi bilang, status Ahok yang pernah dipenjara karena kasus penistaan agama menjadi pertimbangan partai politik yang ingin mengusung atau memproyeksikan suami Puput Nastiti Devi itu.

"Dia jadi komisaris utama di Pertamina itu saja saya pikir cukup. Artinya, Ahok di Pilkada DKI Jakarta itu terakhir secara karir politik," sambungnya.

Senada dengan Andriadi, Pakar komunikasi politik Hendri Satrio menilai, karir Ahok di dunia perpolitikan nasional tidak akan berjalan mulus lagi. Itu sebabnya, dia harus rajin melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh politik yang namanya tengah naik, seperti Wali Kota Solo Gibran Rakabuming, kemarin.

"Kalau enggak ada yang bantu akan mati, selesai. Dia (Ahok, red) enggak bisa sendirian sekarang membina karir seperti pada saat dia jadi gubernur. Sekarang itu dia lebih tergantung orang karir politiknya," ujar Hendri kepada VOI, Jumat 9 April.

Menurut Hensat, sapaan akrab Hendri Satrio, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok alias BTP tidak bisa lagi membangun karir politik tunggal dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki. Pasalnya, dia masih terganjal isu-isu politik masa lalu.

Bahkan, kata Hensat, Presiden Jokowi juga relatif cukup hati-hati menempatkan Ahok dalam jabatan publik. Karenanya, direktur lembaga survei KedaiKOPI itu memandang kunjungan Ahok ke Loji Gandrung adalah untuk merapat ke Gibran, sekaligus sinyal bahwa dia ingin kembali merengkuh jabatan publik.

"Dia mesti begitu memang, mesti nempel ke tokoh politik karena akan cukup sulit. Sampai saat ini, PDIP pun belum pernah secara langsung mendorong nama dia kembali ke kancah politik walaupun diberbagai hasil survei itu muncul juga walaupun kecil," terangnya.

"Jadi memang dia perlu sosok kayak Gibran yang saat ini memiliki peran di Solo kemudian presiden, dan mungkin dia perlu tokoh lain juga," demikian Hendri Satrio.

Berbeda tanggapan, Pengamat politik Ray Rangkuti, menilai karir Ahok di dunia politik masih akan terus berlanjut meski pernah dipenjara lantaran tersandung kasus hukum. Dia memprediksi mantan bupati Belitung Timur itu bakal kembali maju di Pilkada 2024 mendatang.

"Ya tidak (karir politik berhenti, red) dong, saya kira kalau dilihat dari popularitas tetap masuk namanya dalam deretan capres meskipun cuma 1-2 persen tapi tetap masuk," ujar Ray kepada VOI, Jumat 9 April.

Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia itu menilai, Ahok akan rugi apabila tidak kembali 'ganas' di perpolitikan Indonesia. Mengingat Ahok masih punya peluang sebagai politikus PDIP untuk kembali maju sebagai calon kepala daerah. 

"Dengan melihat fakta itu saya kira justru Ahok akan merugi secara politik apabila tidak mengoptimalkan pesona dalam dunia politik. Kecuali dia memang sudah tidak minat," jelas Ray.

Ahok Bisa Nyalon di DKI, Jawa Tengah atau Bali

Banyak pihak menganggap pertemuan Ahok dengan Gibran di Loji Gandrung adalah sebagai manuver politik untuk Pemilu 2024. Ray sendiri menilai tidak menutup kemungkinan bahwa pertemuan Ahok dan putra sulung Presiden Jokowi itu merupakan sinyal PDIP menduetkan keduanya sebagai gubernur pada Pilkada 2024 mendatang.

"Saya kira Ahok di DKI, Gibran Jawa Tengah. Kalau capres ya enggak lah. Atau PDIP akan mencalonkan dia sebagai kepala daerah, boleh jadi akan dipasangkan dengan Gibran di DKI Jakarta atau di Jawa Tengah," tambahnya.

Menurut Ray, Pilkada 2024 mungkin akan menjadi momentum emas bagi Ahok merebut kembali kursi DKI 1. Mengingat, Anies Baswedan diproyeksi maju sebagai capres.

"Kalau Ahok tetap mengoptimalkan popularitas dirinya, entah sebagai cakada di 2024 yang akan datang. Karena asumsi ke depan kan Anies naik jadi capres, DKI sepertinya lowong. Nah Ahok bisa masuk karena sedikit banyak orang masih menerima dia di DKI Jakarta atau di Jawa Tengah. Banyak pilihan lah kalau Ahok itu," ungkapnya.

Dia pun memandang status Ahok sebagai mantan narapidana tidak akan menjegal langkahnya di dunia politik nasional. Terlebih dalam UU tidak ada aturan terkait larangan tersebut dan tertuang dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada selengkapnya berbunyi: 

“Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: … g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang”.

 "Nggak ada masalah, di UU kita kan tidak ada larangan. Mantan koruptor aja boleh. Jadi masih terbuka penerimaan publik terhadap dirinya juga masih tinggi," pungkas Ray Rangkuti.