JAKARTA - Pakar Politik Prof. Ikrar Nusa Bhakti memprediksi hubungan Presiden terpilih Prabowo Subianto dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengalami pasang surut di masa mendatang. Prediksi itu didasari atas kemungkinan anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, bersiap maju sebagai calon presiden dalam Pemilihan Presiden 2029.
“Makanya saya selalu mengatakan kepada pendukung Prabowo Subianto, jangan anda kemudian enak saja terus dukung Jokowi begitu. Hati-hati, bukan mustahil Prabowo bisa saja masuk dalam ‘perangkap’ Jokowi,” ujar Prof. Ikrar kepada host Eddy Wijaya dalam podcast EdShareOn yang tayang pada Rabu, 25 September 2024.
Periode kedua pemerintahan Jokowi menjadi sorotan lantaran keluarganya bermunculan di kancah perpolitikan nasional. Gibran yang sebelumnya walikota Solo, kini terpilih menjadi wakil presiden mendampingi Prabowo. Sementara putra bungsunya, Kaesang Pangarep, menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Bahkan Kaesang sempat digadang-gadang maju di pemilihan Gubernur DKI Jakarta dan Jawa Tengah tapi tersandung UU Pilkada.
Terdapat pula menantunya, Bobby Nasution, yang kini mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumatera Utara. “(Tindakan itu) telah menghancurkan demokratisasi di republik ini. Bahkan, membangkitkan kembali nepotisme” kata mantan kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut.
Ikrar membandingkan Jokowi dengan Presiden ke-2 mendiang Soeharto. Menurutnya, Soeharto masih bisa menahan diri untuk tidak melanggengkan kekuasaan lewat anaknya. “Mbak Tutut (Siti Hardijanti Rukmana) saja hanya beberapa bulan menjadi Mensos,” ujar mantan Duta Besar Indonesia untuk Tunisia ini.
Prof. Ikrar lantas meminta Jokowi sadar dengan kapasitas Gibran. Menurut dia, Gibran kurang memiliki wawasan berpikir karena tak membudayakan membaca buku. “Bagaimana dia bisa membuat decision making (membuat keputusan) untuk publik dengan baik?,” kata dia.
BACA JUGA:
Kuasa TNI-Polri di era Jokowi
Kepada Eddy Wijaya, Prof. Ikrar Nusa Bhakti menduga Jokowi cenderung menggunakan kekuatan TNI-Polri dalam melanggengkan kekuasaannya. “Khususnya Polri, orang bilang Pilkada akan ditentukan oleh kekuatan Parpol, ternyata Parpol yang dimaksud bukan partai politik, tapi nama lain dari ‘Partainya Polisi’,” ucapnya.
Pakar politik kelahiran 27 Oktober 1957 pun menduga langkah Jokowi mempertahankanListyo Sigit Prabowo dari kursi Kapolri bagian dari upaya politiknya di ujung kekuasaan. Ikrar mengatakan tak menutup kemungkinan langkah serupa ditempuh dalam situasi dinamis di masa mendatang. “Ada kecurigaan polisi masih akan dipakai untuk hal-hal seperti itu (politik). Makanya, inilah mengapa sorotan kepada Kapolri Sigit masih sangat kuat,” kata Prof. Ikrar.
Prof. Ikrar juga mencurigai keterlibatan Jokowi saat kisruh Partai Golkar. Secara mendadak Airlangga Hartarto mundur dari kursi ketua umum kemudian digantikan Bahlil Lahadalia yang disebut-sebut orang dekat Jokowi. “Ada yang bilang petinggi Polri datang ke dia (Airlangga Hartarto) kemudian (Airlangga) diperlihatkan sprindik (Surat Perintah Penyidikan),” kata dia.
Prof. Ikrar menambahkan dirinya semula adalah pendukung setia Jokowi. Namun belakangan berbalik arah karena mensinyalir rekayasa hukum maupun politik dalam pemerintahan Jokowi.
“Saya benar-benar langsung berbalik arah dari yang tadinya mendukung menjadi orang yang paling kritis terhadap Jokowi dan keluarganya,” ucapnya.
Saksikan selengkapnya pada wawancara Eddy Wijaya dalam podcast EdShareOn! (ADV)