JAKARTA - Anggota Dewan Pengawas KPK Syamsuddin Haris minta Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK tak meloloskan calon yang cacat etik.
Permintaan disampaikannya usai sidang pembacaan putusan etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pada hari ini, Jumat, 6 September. Dia dinyatakan melanggar etik sedang karena menyalahgunakan kewenangannya.
“Mungkin kami mengimbau kepada pansel pimpinan dan dewas KPK supaya siapapun yang memiliki cacat etik itu tidak diloloskan sebagai pimpinan maupun dewas KPK,” kata Syamsuddin dalam konferensi pers di gedung ACLC KPK, Rasuna Said, Jakarta Selatan.
“Sebab ini menyangkut masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia,” sambung dia.
Sementara itu, Nurul Ghufron menyerahkan nasib sepenuhnya kepada pansel capim KPK. Ia mengatakan tidak bisa memengaruhi independensi pansel.
“Saya pasrahkan kepada pansel saja,” kata Ghufron usai mengikuti sidang putusan.
BACA JUGA:
Diberitakan sebelumnya, Dewan Pengawas KPK menyatakan Nurul Ghufron selaku Wakil Ketua KPK melanggar etik. Dia kemudian dijatuhkan sanksi sedang.
Ghufron dijatuhkan sanksi sedang berupa teguran tertulis oleh Dewan Pengawas KPK karena melanggar Pasal 4 ayat 2 huruf a Perdewas Nomor 3 Tahun 2021. Pendapatannya juga dipotong sebanyak 20 persen selama enam bulan.
Dewan Pengawas KPK menyebut Ghufron diputus melanggar etik terkait penyalahgunaan pengaruh atau jabatan di balik mutasi ASN Kementerian Pertanian (Kementan) bernama Andi Dwi Mandasari (ADM). Ia menggunakan pengaruhnya untuk menghubungi Kasdi Subagyono selaku Sekretaris Jenderal merangkap Pelaksana Tugas Inspektur Jenderal Kementan.
Ghufron ingin ADM yang merupakan pegawai Inspektorat II Kementan dipindahkan ke Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian di Malang, kata Dewas KPK. Sementara saat diklarifikasi, pegawai tersebut mengaku tak pernah meminta.
Adapun komunikasi dengan pihak Kementan ini dilakukan bersamaan dengan penyelidikan kasus dugaan pengadaan sapi di Kementan yang sedang ditangani oleh KPK yang diduga melibatkan Anggota DPR RI.