Bagikan:

JAKARTA - Kebijakan karantina wilayah atau lockdown terjadi di beberapa negara untuk menghadapi penyebaran virus corona atau COVID-19. Beberapa daerah di Indonesia juga berencana melakukan itu tapi belakangan hal tersebut urung dilakukan.

Analisis Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah mengatakan, ada banyak pertimbangan ketika harus mengambil keputusan lockdown. Khusus DKI Jakarta, perlu pertimbangan yang tepat untuk mengeluarkan kebijakan tersebut. 

Sebab, Jakarta merupakan ibu kota negara yang merupakan sentra ekonomi. Sehingga, ketika Jakarta ditutup akan menimbulkan krisis ekonomi, terutama di bidang jasa.

"Tentu efek yang besar akan terjadi. Awal mula yang akan dirasakan di sektor ekonomi," ucap Trubus kepada VOI, Jumat, 27 Maret.

Dari krisis ekonomi itu, lanjut Trubus, akan berdampak pada meningkatnya keresahan masyarakat. Tak menutup kemungkinan, tindak kejahatan akan meningkat setelahnya. Belum lagi ketika tindak kejahatan ini dimanfaatkan orang dengan tujuan negatif.

Selain itu, Jakarta merupakan pusat pemerintah yang instansi dan lembaga negara ada di kota ini yang mesti dijaga. 

Karena pertimbangan ini semua, kata Trubus, Jakarta tak perlu lockdown.

"Semua faktor yang akan terjadi pasti dipikirkan oleh pemerintah. Dari yang terkecil hingga terbesar akan selalu dipertimbangkan," ungkap Trubus.

Ilustrasi (Pixabay)

Gembar-gembor lockdown kembali mencuat setelah, kemarin, Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono menginginkan kotanya dikarantina wilayah untuk mencegah penyebaran virus tersebut. Dia akan memasang pembatas beton di jalan kota untuk mencegah orang masuk dan keluar kota tersebut. Karantina wilayah ini akan dimulai pada Senin, 30 Maret hingga 30 April.

Belakangan, isu ini diluruskan Wakil Wali Kota Tegal Muhammad Jumadi yang bilang kota Tegal akan ditutup tapi tidak semuanya.  Penutupan perbatasan kota, menurut Jumadi, dilakukan untuk memantau secara pasti orang-orang yang akan masuk ke wilayahnya. Para pendatang juga akan ditanya keperluannya masuk ke kota Tegal.

"Jadi, kalau katakanlah Anda masuk Tegal, dicek dulu suhunya, 38 derajat ya silakan Anda pulang ke daerah Anda lagi," kata Jumadi kepada wartawan, Jumat, 27 Maret.

Pemkot Tegal melakukan upaya ini karena ada seorang pasien positif COVID-19 yang baru kembali dari Abu Dhabi. Namun, pasien tersebut tetap bisa leluasa lolos di bandara dan di stasiun hingga akhirnya tiba di Tegal dan kemudian dirawat di rumah sakit.

Seharusnya, kata Jumadi, bandara melakukan mendeteksi dini COVID-19, terutama yang berasal dari luar negeri. Sehingga, ketika seseorang masuk dalam orang dalam pemantauan atau pasien dalam pengawasan, bisa langsung diisolasi. Termasuk stasiun yang perlu menerapkan hal yang sama.

Jumadi menerangkan, pintu masuk kota Tegal ada 50 titik. Untuk jalur provinsi dan jalur nasional akan dibuka agar pengendara yang akan menuju ke Pemalang atau Semarang melalui Tegal tetap diperbolehkan namun tak perlu masuk ke dalam kota Tegal.

Dia menerangkan, kebijakan ini sudah disampaikan ke Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Menurutnya, Ganjar memahami duduk permasalahan yang ada di kota Tegal. 

"Intinya diluruskan. Kita tidak melawan pemerintah pusat tapi kita inline dengan pemerintah pusat. Kita mendukung pemerintah pusat makanya kita membantu, biar meringankan beban," ungkapnya.

Ilustrasi (Unsplash)

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menegaskan, lockdown di Kota Tegal bukan tindakan karantina seperti yang dilakukan berbagai negara tapi lebih kepada isolasi kampung. Kata Ganjar, kebijakan ini berarti masyarakat dilarang jalan-jalan keluar, berkumpul di alun-alun kota, dan menutup tempat hiburan.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menegaskan tak ada kebijakan lockdown atau isolasi di tingkat nasional maupun daerah untuk mencegah penularan COVID-19.

Menurut Jokowi, pemerintah saat ini lebih mengambil kebijakan untuk melakukan physical distancing atau menjaga jarak dan tetap melakukan bekerja, belajar dan beribadah dari rumah. Selain itu, Jokowi juga sudah mengingatkan, kebijakan lockdown atau isolasi nantinya diambil langsung oleh pemerintah pusat.

Ilustrasi (Ilham Amin/VOI)