Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil Direktur Utama Perusahaan umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya nonaktif, Yoory Cornelis Pinontoan

Anak buah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ini akan diperiksa dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Munjul, Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur.

Pemeriksaan ini adalah penjadwalan ulang, karena sebelumnya dia tak hadir pada pemeriksaan yang harusnya dilakukan Rabu, 24 Maret kemarin.

Yoory Cornelis diperiksa. Penjadwalan ulang pemeriksaan kemarin,” kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 25 Maret.

KPK juga memeriksa pihak swasta yaitu Rudy Hartono Iskandar. Ini juga penjadwalan ulang dari pemeriksaan yang harusnya dilakukan pada Selasa, 23 Maret.

Selain dua orang tersebut, penyidik komisi antirasuah itu juga memanggil dua saksi lainnya yaitu Direktur PT Adonara Propertindo Tommy Adrian dan Wisnu Junaidi selaku Pemilik KJPP Wisnu Junaidi dan Rekan.

“Pemeriksaan dilakukan di Kantor KPK Jalan Kuningan Persada,” ungkap Ali

Diberitakan sebelumnya, KPK sudah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi. Salah satunya, adalah Wakil Direktur PT Adonara Propertindo Anja Runtuwene yang didalami perihal pengadaan tanah tesebut.

Diketahui, KPK saat ini memang tengah mengusut kasus korupsi terkait pengadaan tanah di Munjul, Kelurahan Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur. Tanah ini, nantinya bakal digunakan untuk membangun rumah dengan down payment atau DP Rp0 yang merupakan program Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Meski belum diumumkan, berdasarkan surat panggilan seorang saksi, dalam perkara ini ada empat tersangka yang sudah ditetapkan oleh KPK. Tersangka pertama adalah Direktur Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles, yang kini sudah dinonaktifkan dari jabatannya.

Selain itu, KPK juga menetapkan dua pihak swasta Anja Runtuwene, dan Tommy Ardian sebagai tersangka. Tak hanya itu, KPK juga menetapkan korporasi yakni PT Adonara Propertindo.

Keempat tersangka itu disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.