JAKARTA - Terdakwa kasus ujaran kebencian, Sugi Nur Raharja alias Gus Nur dituntut 2 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU). Kuasa hukum Gus Nur, Ricky Fatamazaya mengaku kecewa dengan hasil tuntutan tersebut.
Ricky menilai penanganan kasus hukum yang menyeret Gus Nur lebih terkesan sebagai peradilan politik ketimbang peradilan hukum.
"Tuntutan ini sangat mengecewakan. Jangan sampai lebih terkesan bahwasanya ini bukan peradilan hukum, ini peradilan politik. Jangan sampai seperti itu," kata Ricky di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 23 Maret.
Menurut Ricky, tuntutan tersebut tak sesuai. Sebab, pihak yang menjadi saksi korban, yakni Menteri Agama Yaqut Cholil Chomumas dan Ketua PBNU Said Aqil Siradj tak pernah datang selama persidangan.
Tercatat, keduanya sudah empat kali urung memenuhi panggilan untuk memberi kesaksian. Oleh sebab itu, ia ragu atas pembuktian kasus ujaran kebencian yang dilakukan Gus Nur.
"Sangat disayangkan yang korban ini kan siapa, misalnya korban adalah Pak Yaqut dan juga di situ ada Pak Aqil Siraj begitu, tapi pada pembuktian di persidangan itu tidak pernah hadir sekalipun," tuturnya.
BACA JUGA:
Oleh sebab itu, kuasa hukum Gus Nur akan melayangkan pleidoi atau pembelaan pada pekan depan. Namun, ia belum memastikan pleidoi dilakukan dalam bentuk tertulis atau dibacakan langsung.
"Kita tetap akan melakukan pleidoi karena memang dijadwalkan pekan depan. Hari Senin, kita akan melakukan pleidoi. Bagaimana konsepnya, kita berpikir berkas tetap kita upayakan kirim ke pengadilan," jelasnya.
Adapun jaksa menuntut terdakwa kasus ujaran kebencian, Sugi Nur Raharja alias Gus Nur dengan pidana selama dua tahun penjara. Tak hanya itu, Gus Nur juga dikenakan denda sebesar Rp100 juta. Jika Gus Nur tidak membayar denda tersebut, sebagai gantinya masa kurungan akan ditambah selama tiga bulan.
Gus Nur ditetapkan tersangka dalam perkara penyebaran ujaran kebencian tak lama setelah ditangkap di kediamannya di Kecamatan Pakis, Malang, Jawa Timur, pada 24 Oktober.
Gus Nur didakwa dengan dua dakwaan alternatif, yakni pertama pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Atau, Pasal 45 ayat (3) jo, pasal 27 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.