Bagikan:

JAKARTA - Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menyerahkan salinan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) lahan di Munjul, Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyerahan ini berkaitan dengan kasus korupsi yang tengah diusut oleh lembaga antirasuah tersebut.

Melalui keterangan tertulisnya, Boyamin menyebut penyerahan ini dilakukan melalui sarana daring yaitu lewat aplikasi pesan singkat yaitu WhatsApp pada Jumat, 19 Maret kemarin.

“Bersama ini disampaikan copy sertifikat Hak Guna Bangunan Lahan di Munjul, Kelurahan Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur yang saat ini KPK sedang melakukan Penyidikan dugaan korupsi pembelian lahan tersebut oleh BUMD DKI Jakarta Perusahaan Daerah Sarana Jaya,” ungkap Boyamin kepada wartawan.

Dia kemudian memaparkan, lahan tersebut memiliki sertifikat HGB bernomor 97-99 yang diterbitkan oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Cabang Jakarta Timur pada 2021. Keseluruhan sertifikat ini, tercatat atas nama Yayasan Kongregasi Suster-Suster Carolus Borromeus dengan luas keseluruhan mencapai 4 hektare.

Selain data tersebut, dia juga memaparkan sejumlah poin yang jadi penguat soal adanya korupsi terkait pengadaan lahan yang dilakukan oleh PD Sarana Jaya.

Pertama, bahwa lahan tersebut adalah milik sebuah yayasan. Sehingga, seharusnya lahan tersebut tak bisa dijual kepada perusahaan bisnis swasta sebagaimana diatur dalam Pasal 37 Ayat (1) huruf B Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 Tentang Yayasan. 

Boyamin menilai, PD Sarana Jaya harus sejak awal tahu soal ini. “Sehingga dengan melakukan pembayaran kepada sebuah perusahaan swasta sekitar Rp 200 milyar adalah sebuah bentuk pembayaran yang tidak diperolehnya sebuah lahan yang clear and clean serta berpotensi kerugian total lost (uang hilang semua tanpa mendapat lahan),” jelasnya.

Kedua, lahan tersebut hak guna bangunannya akan habis tahun 2021 dan selama ini tidak pernah dilakukan pembangunan apapun sesuai izin HGB dan berpotensi tidak akan diperpanjang HGB-nya.

"Sehingga semestinya PD Sarana Jaya menunggu perpanjangan HGB untuk melakukan pembayaran sehingga dengan pembayaran sebelum HGB diperpanjang adalah bentuk pembayaran yang sia-sia dan berpotensi tidak akan memperoleh lahan tersebut," katanya.

Ketiga, sebelum HGB terbit di tahun 2001, lahan ini ternyata berstatus hak pakai yang artinya, lahan ini milik pemerintah. Sehingga, ketika lahan tersebut terlantar karena tidak didirikan bangunan maka HGB berpotensi dicabut atau perpanjangannya akan ditolak.

"Sehingga pembayaran oleh PD Sarana Jaya adalah sesuatu hal ceroboh dan uang terbuang percuma," tegas Boyamin.

Keempat, sambung dia, rencana penjualan lahan oleh pemegang HGB kepada perusahaan swasta yang kemudian dijual kepada PD Sarana Jaya patut diduga telah melanggar UU Yayasan.

"Sehingga HGB tersebut dapat dicabut oleh pemerintah karena tidak sesuai peruntukannya sehingga pembayaran PD Sarana Jaya kepada sebuah perusahaan swasta patut diduga turut serta korupsi yang merugikan negara," ujarnya.

Dengan data yang dikirimkan sekaligus sejumlah poin yang diungkapnya itu, Boyamin berharap KPK bisa segera mengumumkan para tersangka yang terlibat dan melakukan penahanan.

“Kami meminta segera diumumkan Tersangka dan dilakukan Penahanan terhadap para Tersangka dugaan korupsi pembayaran PD Sarana Jaya untuk rencana memperoleh lahan di Munjul, Pondok Ranggon, Cipayung , Jakarta Timur,” ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, KPK saat ini memang tengah mengusut kasus korupsi terkait pengadaan tanah di Munjul, Kelurahan Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur. Tanah ini, nantinya bakal digunakan untuk membangun rumah dengan down payment atau DP Rp0 yang merupakan program Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Meski belum diumumkan, berdasarkan surat panggilan seorang saksi, dalam perkara ini ada empat tersangka yang sudah ditetapkan oleh KPK. Tersangka pertama adalah Direktur Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles, yang kini sudah dinonaktifkan dari jabatannya.

Selain itu, KPK juga menetapkan dua pihak swasta Anja Runtuwene, dan Tommy Ardian sebagai tersangka. Tak hanya itu, komisi antirasuah ini juga menetapkan korporasi yakni PT Adonara Propertindo.