JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun meragukan kemenangan Joko Widodo (Jokowi) apabila bersedia maju kembali sebagai presiden 3 periode. Sebab wacana ini akan bergerak di putaran kekuasaan istana yang tentu saja berkepentingan.
Di mana, ketika dihadapkan isu masa perpanjangan masa jabatan tidak mungkin lingkungan istana akan mendukung 100 persen. "Persoalan nya apakah seputaran istana akan kompak? Saya meragukan itu," ujar Refly dalam diskusi Polemik Trijaya bertajuk Misteri 2024 secara virtual, Sabtu, 20 Maret.
Menurut Refly, ketidakkompakan dalam istana untuk mendukung Jokowi di periode ketiga lantaran masing-masing parpol sudah memiliki capres sendiri. Terlebih, ada pihak yang menunggu bola untuk digolkan apabila Jokowi tak lagi mendaftarkan diri sebagai capres.
"Misal, kalau agenda itu didorong apakah Gerindra mau? Karena Prabowo pasti berpikir, wah ini saatnya (jadi presiden, red) karena tidak ada lagi pesaing yang menjegal dua kali," ungkap Refly.
BACA JUGA:
Kemudian, sambung Refly, ada NasDem dengan agenda konvensi partainya. Dimana saat ini sudah melangkah untuk lakukan konvensi tahun depan.
"Airlangga Hartarto, bahkan sudah bersafari, berkoalisi dengan semua parpol untuk menjajaki 2024. Bahkan Rapimnas Golkar sudah tetapkan Airlangga sebagai capres," jelasnya.
Kepentingan elit di seputaran kekuasaan yang berbeda ini, menurut Refly, akan menjadi halangan untuk realisasi 3 periode.
Selain itu, ada perubahan konstitusi yang Refly sendiri pahami tidak pernah berada diruang hampa politik. Akan tetapi selalu ada gelombang reformasi dan revolusi.
"Indonesia juga gitu reformasi konstitusi ada akibat tumbangnya rezim. Saya lihat ada faktor yang tidak mudah (untuk Jokowi 3 periode.red)," tandasnya.
Inkonsisten, Jokowi Dinilai Bisa Terima 3 Periode
Presiden Joko Widodo bisa saja terjerumus dengan isu 3 periode. Sebab menurutnya, Jokowi juga politisi yang beberapa kali pernah tidak konsisten dengan ucapannya.
"Bagaimana kita bicara konsistensi seorang politisi? Kan Jokowi sudah contohkan inkonsistensinya, misal ketika pada periode pertama melarang rangkap jabatan," ujar Refly
"Saya ingat Wiranto harus memilih menjadi ketum Hanura atau menteri. Cak Imin juga suruh memilih dan mengatakan memilih PKB walaupun sebenarnya menjadi menteri pun dalam proses pertimbangan juga," tambahnya.
Akan tetapi, sambung Refly, pada periode kedua banyak menteri Jokowi yang merangkap jabatan. Namun, Jokowi tidak mempermasalahkan.
"Kita tahu, bahwa Airlangga jadi Ketum partai, Prabowo kemudian Suharso bahkan Moeldoko bisa mengambil alih kepemimpinan partai ketika masih sebagai KSP. Nah ini menunjukkan bahwa inkonsistensi politisi itu bisa diliat dari sisi positif dan negatif," jelas Refly.
Refly menjelaskan, dilihat dari sisi positifnya bahwa memang yang namanya gelombang perubahan itu perlu disikapi dengan cara berbeda.
"Yang tadinya A kita ngomong B, tapi dengan cara negatif wah ini memang enggak bisa dipegang. Statement yang seperti itu adalah statement yang bisa dikeluarkan setiap saat, tetapi tidak ada konsekuensi hukumnya.
Meksi komitmen itu tidak ditaati, kata dia, namun ternyata kemudian dapat terpilih juga walaupun melakukan langkah-langkah inkonsistens.
"Karena political punishment itu tidak langsung juga. Jadi ketika seseorang berbeda dengan apa yang dikatakan sebelumnya belum tentu dia tidak terpilih sama sepeti parpol tidak konsisten pun belum tentu tidak teprilih kembali karena logika elektoralnya berbeda," tandas Refly.