JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengkritik jalannya demokrasi di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Menurutnya, demokrasi era Jokowi semakin mundur, represif dan merusak.
Refly mulanya menegaskan bahwa pernyataan sikapnya hari ini atas nama pribadi bukan sebagai juru bicara Timnas pemenangan Paslon nomor urut 2, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN).
"Saya hadir di sini tidak atas nama 01. Jadi itu jelas, atas nama pribadi. Jadi kemarin waktu itu saya demo atas nama pribadi," ujar Refly dalam konferensi pers Spektrum Oposisi Terpimpin (SPOT) di Kantor MPP ICMI, Warung Buncit, Jakarta Selatan, Senin, 4 Maret.
Refli menegaskan, demokrasi harus selalu tegak berdiri. Dia prihatin, sejak reformasi 1998 demokrasi Indonesia bukannya berkembang secara substantif tapi malah semakin represif.
"Terutama pada era kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Indikatornya banyak. Salah satunya adalah, semakin banyak aktivis-aktivis dilaporkan kemudian dipenjarakan, itu hanya karena berbeda pendapat. Dan biasanya yang digunakan adalah dua instrumen undang-undang. Satu Undang-Undang 1946 tentang peraturan hukum pidana dan satu lagi Undang-Undang ITE," jelas Refly.
"Bayangkan, orang nulis saja, orang nge-tweet saja kok bisa ditangkap. Ditangkap juga karena dianggap menyebarkan kebohongan publik itulah Habib Rizieq. Jadi kita bisa bayangkan betapa horornya negara kita ini," imbuhnya.
Refly mengungkapkan, sebetulnya ia juga sudah berkali-kali diadukan ke pihak berwajib atas segala komentarnya. Namun kata dia, karena sudah menyampaikan sesuatu secara konstitusional maka dirinya sulit diproses.
"Kalau saya mengatakan pemakzulan, pengunduran diri, kan konstitusional semua, yang tidak boleh adalah memperpanjang masa jabatan. Jadi kita bisa berdebat, boleh pemakzulan dan lain sebagainya," katanya.
"Karena itu menurut saya, ini memprihatinkan. Karena yang namanya demokrasi itu kalau dia represif tiba-tiba otoritariannya kembali susah nanti bagi kita. Tidak hanya bagi kita, bagi teman-teman jurnalis, mau nulis apa lagi coba," sambungnya.
Refly juga memprotes pelaksanan Pemilu 2024 yang diduga diwarnai kecurangan massif. Dia menilai, kecurangan pemilu itu sudah mencoreng demokrasi. Seperti berbedanya rekapitulasi suara di data Sirekap.
"Kita harus melawan pemilu dan pilpres yang curang itu," tegasnya.
Menurut Refly, kecurangan Pemilu 2024 sudah terlihat sejak Jokowi ingin memperpanjang masa jabatan 3 periode. Kemudian pengunduran jadwal pemilu, sampai kemudian akhirnya menitipkan putra mahkota melalui putusan sang paman di Mahkamah Konstitusi.
"Jadi itulah yang kemudian membuat pemilu ini dari awal memang tidak jujur dan tidak adil. Pertanyaannya adalah 'kok baru menolak sekarang', siapa bilang? Dari sebelum pencoblosan kita kan sudah protes lebih dulu kan. Jadi protes itu tidak hanya setelah pencoblosan, tapi sebelum pencoblosan sudah kita protes," jelasnya.
BACA JUGA:
Refly juga menyinggung isu yang menyebut Jokowi akan bergabung ke Partai Golkar. Refly menilai, Jokowi akan mengambil alih kepemimpinan di partai beringin itu.
"Kan ada take over terhadap leadership partai politik tertentu. Kita sudah baca di berita misalnya bagaimana kemudian presiden Jokowi mau mengambil kepemimpinan Golkar. Kira-kira pertama nasibnya dengan putranya Kaesang cukup dua hari bergabung untuk mengontrol partai, ya mungkin tidak menjadi ketua umum tapi ketua pembina," sebutnya.
"Nah cara-cara seperti ini kan sangat merusak demokrasi. Karena itu kami di sini tidak mau menjadi orang yang diam saja, kita ingin terus bersuara, sampaikan sampai apa, sampe mati sahid jangan-jangan," katanya.
Refli menekankan, pernyataan sikapnya ini hanya ingin bersuara bukan melawan. Sebab suara dianggap lebih konstitusinya dan demokratis bagi rakyat Indonesia.
"Besok kalau demokrasi sudah hilang, saya yakin tidak ada lagi yang begini-begini, semua ruang-ruang pers akan dikontrol. Sekarang aja udah dikontrol, media mainstream, kan ada demo gede-gedean bisa diperintahkan, kontrol itu sudah terjadi, tapi kita ingin ini tidak berlanjut," pungkasnya.