Bagikan:

JAKARTA – Setiap negara, pasti memiliki hukum tata negara yang mengatur badan atau lembaga yang ada di sebuah negara. Di Indonesia, hukum tata negara merupakan suatu hukum yang dipakai untuk mendefinisikan hubungan antar lembaga yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Aturan ini dalam bahasa Belanda disebut staatsrecht. Kemudian dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Constitutional Law alias hukum konstitusi. Kendati demikian, hukum tersebut memiliki tujuan yang sama.

Pengertian hukum tata negara

Tidak ada rumusan yang sama persis soal pengertian hukum tata negara sebagai hukum dan cabang ilmu pengetahuan hukum di antara para pakar hukum.

Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan perpektif para ahli dan perbedaan sistem hukum yang dianut oleh negara yang dijadikan objek penelitian.

Menurut A. Sakti Ramadhon dalam buku Dasar-dasar Hukum Tata Negara: Suatu Kajian Pengantar Hukum Tata Negara dalam Perspektif Teoritis-Filosofis, (2019), hukum tata negara adalah kajian ilmu hukum yang mempunyai lapangan kajian yang luas, dan dinamis. Sehingga, sulit untuk menemuka suatu unifikasi terhadap definisi hukum tata negara.

Sementara, ahli hukum tata negara Cornelis van Vollenhoven mendefinisikan hukum tata negara sebagai hukum yang mengatur semua masyarakat hukum atasan dan bawahan menurut tingkatannya, dan menentukan organ-organ/lembaga-lembaga dalam masyarakat hukum bersangkutan, dan menentukan susunan dan wewenang organ-organ/lembaga-lembaga uang dimaksud.

Kemudian, menurut Moh Kusnardi dan Harmauly Ibramin, hukum tata negara adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi negara daripada negara, hubungan antar alat perlengkapan negara dalam garis vertikal dan horizontal, serta kedudukan negara dan hak asasinya.

Tujuan hukum tata negara

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disumpulkan bahwa hukum tatat negara bertujuan untuk mengkaji beberapa aspek krusial, yakni negara/organ negara, hubungan antara organ/lembaga negara, dan hubungan antar organ/lembaga negara dengan warganya.

Sedangkan Usep Ranawijaya menyampaikan, hukum tata negara mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan hal-hal berikut ini:

- Struktur umum dari organisasi negara

- Badan-badan ketatanegaraan

- Pengaturan kehidupan politik rakyat

- Sejarah perkembangan ketatanegaraan

Contoh kasus hukum tata negara di Indonesia:

1. Sengketa Pilkada Sabu Raijua

Sengketa Pilkada Sabu Raijua muncul karena bupati Sabu Raijua terpilih, Orient Patriot Riwu Kore merupakan warga negara Amerika Serikat (AS).

Kasus ini mulai mencuat ke permukaan pada awal Februari 2021 lalu. Tak ayal, lawan Orient di Pilkada Sabu Raijua, yakni pasangan Nikodemus N Rihi Heke-Yohanis Yly Kale mengajukan gugatan sengketa Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait polemik kewarganegaraan Bupati terpilih Orient Riwu Kore.

Kondisi ini menyebabkan Orient batal dilantik menjadi Bupati Sabu Raijua karena masih berstatus warga negara Amerika Serikat.

Pihak Orient sendiri mengaku sudah mengajukan permohon pelepasan kewarganegaraan AS pada Agustus 2020. Akan tetapi, permohonan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh Keduataan AS di Jakarta dengan alasan pandemic COVID-19.

“Orient mengajukan permohonan pelepasan kewarganegaraan dengan melakukan pengisian form resmi request for determination of possible loss of United States citizenship melalui keduataan Amerika Serikat,” ujar kuasa hukum Orient, Paskaria, dikutip dari Antara.

Kini, sengketa Pilkada Sabu Raijua 2020 masih dalam penanganan Mahkamah Konstitusi.

2. SBY berikan grasi kepada penyelundup ganja dari Australia, Schapelle Corby

Schapelle Corby merupakan warga negara Australia yang ditangkap aparat di Bandara Ngurah Rai, Bali pada Oktober 2004 karena membawa ganja seberat 4,1 kilogram.

Pada 27 Mei 2005, Corby divonis 20 tahun penjara dan didenda 13,875 dolar AS. Berikutnya, pada 13 Oktober 2005, atau setahun setelah penangkapannya, hukuman Corby disunat menjadi 15 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Bali.

Jaksa kemudian mengajukan banding atas putusan itu, dan tiga bulan kemudian, Mahkamah Agung RI mengembalikan hukuman 20 tahun untuk terdakwa.  

Pada tanggal 13 April 2010, Corby mengajukan grasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan dalih bahwa dia menderita depresi di dalam LP Kerobokan dan bahwa hidupnya berisiko jika dia berada di sana.

Corby memohon kepada presiden agar membatalkan vonisnya dan mengurangi hukumannya.

Dua tahun setelah diajukan, tepatnya tanggal 15 Mei 2012, Presiden SBY memberikan grasi kepada Corby. Kendati demikian, Corby baru dibebaskan secara bersyarat pada 10 Februari 2014 dan pada 25 Mei 2017, Corby dideportasi ke negara asalnya, Australia.