JAKARTA – Dalam dunia hukum, Rechtvinding adalah istilah yang umum dijumpai. Lantas apa maknanya? Artikel singkat ini akan membahas pengertian idiom tersebut beserta contoh kasus penemuan hukum oleh hakim.
Pengertian Rechtvinding adalah proses pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim atau aparat penegak hukum. Proses tersebut adalah dasar sebuah pengambilan keputusan hukum.
Van Apeldoorn (hakim yang tenar di awal abad 20 dari Belanda) menjelaskan jika hakim bertugas membentuk hukum dengan memperhatikan pada beberapa asas tertentu.
Asas Hakim dalam Menentukan Hukum
Pertama, seorang hakim hendaknya harus mengadili dengan dasar Undang-Undang. Hal tersebut diatur dalam Pasal 20 AB dan 22 AB.
Selanjutnya dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970, mewajibkan seorang hakim untuk tidak menolak untuk mengadili perkara yang diajukan kepadanya.
Kemudian, apabila ada aturan hukum yang kosong atau ketidakjelasan aturan hukum, maka semuanya diatur dalam pasal 27 UU Nomor 14 Tahun 1970 yang tertulis sebagai berikut:
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Dengan demikian, hakim harus memiliki kemampuan dan juga keaktifan untuk menemukan hukum. Pengertian tersebut disebut juga sebagai Rechtvinding.
Penafsiran dan Contoh Kasus Penemuan Hukum oleh Hakim
Hakim dalam melakukan penemuan kasus hukum, haruslah berpegang teguh terhadap beberapa metode tafsir hukum. Berikut ini beberapa metode yang umum digunakan, sebagaimana dilansir dari Ditjenpp Kemenkumham:
1. Metode Interpretasi
Berdasarkan arti harfiahnya, interpretasi adalah suatu cara tafsir dengan meruntut arti kata-kata. Dengan demikian metode interpretasi dalam hukum berarti memaknai idiom-idiom yang ada dalam kitab Undang-undang.
Contoh kasus:
Di dalam aturan Undang-Undang terdapat larangan untuk menghentikan kendaraannya di suatu tempat. Kemudian, kata “kendaraan dapat tafsirkan menjadi bermacam-macam, apakah kendaraan roda dua, roda empat, atau hanya kendaraan bermesin saja.
2. Metode Interpretasi Sistematis
Metode ini adalah penafsiran hukum dengan cara menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain yang terdapat dalam suatu Undang-Undang dengan Undang-Undang yang lainnya.
Contoh kasus:
Bunyi Pasal 1330 KUH Perdata adalah “Tidak cakap membuat persetujuan/perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa”. Pasal tersebut kemudian menimbulkan sebuah pertanyaan akan maksud “orang-orang yang belum dewasa”.
Untuk memahami Pasal 1330 KUH Perdata, kemudian dapat mengaitkannya dengan Pasal 330 KUH Perdata yang menjelaskan batasan orang yang belum dewasa yaitu yang belum berumur 21 tahun.
3. Metode Interpretasi Sosiologis-Teologis
Metode interpretasi teleologis-sosiologis adalah memaknai Undang-undang (UU) berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan demikian, aturan disesuaikan atas hubungan dan situasi sosial masyarakat.
Metode ini dilakukan dengan cara menyesuaikan keadaan sekarang (kontekstual) guna memecahkan dan menyelesaikan suatu sengketa di dalam kehidupan masyarakat.
Contoh kasus:
Suku Dayak Kalimatan memiliki pendirian jika tanah sama halnya dengan ibu yang dapat dimiliki oleh setiap orang, sehingga harus dijaga dan dirawat. Kemudian apabila seorang hakim bertemu dengan kasus sengketa tanah yang melibatkan Suku Dayak, maka harus menyelaraskan pandangan sosial kemasyarakatan dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang UU Pokok-pokok Agraria.
4. Metode Interpretasi Analogi
Interpretasi analogi berarti penafsiran hukum dengan menyematkan kias pada kata-kata dalam aturan hukum sesuai dengan asas hukum. Dengan demikian, suatu peristiwa yang tidak termasuk, dianggap sesuai dengan bunyi aturan.
Contoh kasus:
Bunyi Pasal 1576 KUH Perdata adalah “Penjualan barang yang disewa tidak memutuskan sewa menyewa kecuali apabila diperjanjikan”. Kemudian terdapat kasus ketika seseorang menghibahkan rumahnya kepada orang lain, dan rumah tersebut dalam keadaan disewakan kepada orang lain.
Dari contoh kasus di atas, maka diperoleh persamaan antara memberi (hibah), menukar, mewariskan dengan perbuatan menjual. Persamaan tersebut merupakan perbuatan yang bermaksud mengasingkan suatu benda.
Kemudian seorang hakim membuat pengertian jika pengasingan (menukar, mewariskan) tidak memutuskan atau mengakhiri sewa menyewa. Hal tersebut lantaran Pasal 1576 KUH Perdata menyebut kata “menjual” namun masih dapat diterapkan pada peristiwa hibah, menukar, dan mewariskan.
Selain empat metode temuan hukum yang dilakukan oleh hakim di atas, masih terdapat beberapa metode lainnya seperti metode intepretasi authentik (Resmi), metode interprestasi historis, interpretasi ekstentif, interpretasi restriktif, dan interpretasi argumentus a contrario.
Selain contoh kasus penemuan hukum oleh hakim, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!