Bagikan:

JAKARTA - Perusahaan kripto, Ripple Labs, menolak permintaan otoritas pasar modal Amerika Serikat (AS), Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC), terkait informasi tambahan soal XRP. Ripple menilai permintaan SEC tidak relevan, terlambat, dan tidak beralasan.

SEC mengajukan gugatan terhadap Ripple pada Desember 2020, dengan tuduhan menjual XRP tanpa mendaftarkannya sebagai sekuritas atau surat berharga. SEC mengklaim bahwa Ripple telah mengumpulkan lebih dari $1,3 miliar (Rp18,5 triliun) melalui penawaran XRP yang tidak sah sejak 2013.

Ripple membantah tuduhan tersebut dan mengatakan bahwa XRP adalah aset digital, bukan sekuritas. Ripple juga mengklaim bahwa SEC tidak memberikan kejelasan hukum tentang status XRP dan melanggar prinsip keadilan administratif.

Pada Jumat, 21 Januari 2024, Ripple mengirimkan surat kepada Hakim Sarah Netburn, yang menangani perkara ini, untuk menolak permintaan SEC untuk penemuan pasca-pengaduan. Penemuan pasca-pengaduan adalah proses pengumpulan bukti setelah pengaduan diajukan.

Dalam surat tersebut, penasihat hukum Ripple mengatakan bahwa SEC meminta Ripple untuk menghasilkan laporan keuangan yang diaudit untuk tahun 2022 dan 2023, serta semua kontrak pasca-pengaduan untuk penjualan atau transfer XRP ke pihak ketiga non-karyawan. SEC juga menuntut Ripple untuk menjawab pertanyaan tentang jumlah hasil penjualan institusional XRP yang diterima setelah pengajuan pengaduan untuk kontrak tertentu.

Dilansir TheCryptoBasic, Ripple menolak permintaan SEC dengan dua alasan utama. Pertama, permintaan SEC terlambat, karena SEC seharusnya sudah mencari informasi tersebut saat penemuan fakta masih terbuka, tetapi tidak melakukannya. Kedua, permintaan SEC tidak beralasan, karena informasi yang diminta SEC tidak berpengaruh pada penentuan ganti rugi oleh pengadilan.

Ripple juga menuduh SEC mencari jalan pintas dalam klaim kontrak investasi, dengan bermaksud untuk mendapatkan keputusan cepat tanpa mendengarkan argumen lengkap dari Ripple. Ripple mengatakan bahwa hal ini akan mengabaikan fakta-fakta penting, meningkatkan risiko tahap penemuan kedua, dan memberatkan pihak-pihak yang bersengketa dan pengadilan.

Penasihat hukum Ripple juga menyoroti keputusan Hakim Analisa Torres pada 13 Juli 2023, yang menyatakan bahwa penjualan XRP oleh Ripple secara otomatis dan distribusi lainnya tidak bersifat kontrak investasi, tetapi penjualan institusional tertentu XRP kepada individu dan entitas canggih seharusnya terdaftar sebagai sekuritas.

Ripple berpendapat bahwa kondisi keuangan saat ini tidak relevan bagi Ripple untuk menentukan jumlah denda yang harus dibayar kepada SEC. Ripple juga menegaskan bahwa tidak akan mengajukan argumen untuk mengurangi denda berdasarkan kondisi keuangan saat ini. Surat tersebut diakhiri dengan pernyataan:

"Permintaan SEC untuk penemuan pasca-pengaduan yang tidak relevan dan membebani, terutama setelah penemuan fakta, seharusnya ditolak."

Sementara itu, perkara antara Ripple dan SEC masih berlangsung di pengadilan. Pada 19 Januari 2024, Hakim Netburn menolak permohonan SEC untuk mengeluarkan surat perintah kepada enam bank asing untuk mengungkapkan informasi tentang transaksi XRP oleh eksekutif Ripple, termasuk CEO Brad Garlinghouse dan pendiri Chris Larsen.

Hakim Netburn mengatakan bahwa permohonan SEC tidak memenuhi standar yang diperlukan untuk mengeluarkan surat perintah internasional, dan bahwa SEC tidak menunjukkan relevansi informasi yang diminta dengan klaimnya. Hakim Netburn juga mengatakan bahwa permohonan SEC dapat melanggar privasi dan hak-hak sipil eksekutif Ripple.

Kasus ini dianggap penting bagi industri kripto, karena dapat menentukan status hukum XRP dan mata uang digital lainnya di AS. XRP adalah salah satu mata uang digital terbesar di dunia, dengan kapitalisasi pasar sekitar $22,5 miliar (Rp320,6 triliun) per 23 Januari 2024, menurut data dari Coinmarketcap.com.