JAKARTA - Pengadaan alat tes COVID-19 real time polymerase chain reaction (RT-PCR) di Indonesia saat awal pandemi diduga bermasalah.
Disebutkan, puluhan rumah sakit mengembalikan ratusan ribu alat tes COVID-19 kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) karena tak dapat digunakan.
Dalam investigasi Majalah Tempo bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) dkk menemukan ada dugaan kerugian negara dalam pengembalian ratusan ribu alat tes RT-PCR COVID-19. Besarnya sekitar Rp170 miliar. Hal ini akibat pengadaan alat tes yang tidak akurat.
Menjawab hal ini, anggota tim Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Suryopratomo mengaku semua negara, di masa awal pandemi, masih dihadapkan dengan ketidaktahuan penanganan COVID-19 yang baik.
"Dalam situasi keotik di awal-awal pandemi COVID-19, lembaga internasional, baik itu Badan Kesehatan Dunia (WHO) maupun UNICEF tidak mempunyai pegangan yang baku mengenai tata cara penanganan COVID. Semua melakukan dengan trial anf error," kata Suryopratomo dalam tayangan Youtube BNPB Indonesia, Senin, 15 Maret.
Awal pandemi, Suryopratomo mengaku pihaknya sedang dihadapkan pada situasi menegangkan. tenaga kesehatan mulai berguguran karena menangani COVID-19. Satu-satunya cara adalah melakukan pengadaan alat tes PCR.
Sayangnya, saat itu baru ada dua negara yang bisa menghasilkan reagen tes PCR, yakni China dan Korea. Satgas, yang saat itu bernama Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 harus melakukan pengadaan tes PCR.
"Sekarang ramai dibicarakan seakan-akan gugus tugas melakukan pengadaan tes PCR secara sembrono, tidak melakukan kajian," jelas Suryopratomo.
"Saya katakan, apa yang dilakukan oleh tim Gugus Tugas berorientasi kepada bagaimana secepat mungkin kita bisa mengendalikan penularan, secepat mungkin bisa mengetahui warga masyarakat yang tertular, sehingga kemudian bisa dilakukan isolasi atau karantina sehingga tidak menulari orang lain," lanjut dia.
BACA JUGA:
Kronologi pengembalian alat tes COVID-19
Tenaga ahli Ketua Satgas Penanganan COVID-19, M. Nasser menjelaskan kronologi salah satu jenis alat tes (reagen) PCR dengan merek Sansure. Mulanya, Satgas/BNPB menganggap reagen Sansure sangat stabil dan juga multiplex
Maksudnya, reagen ini terdiri atas dua gen confirmed yang dikerjakan bisa lebih cepat daripada reagen yang lain, serta memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang baik.
Pada bulan April sampai Mei 2020, pemerintah melakukan distribusi pada 88 laboratorium di 31 provinsi.
Ternyata, dari sekian laboratorium itu ada sejumlah laboratorium yang tidak dapat mengerjakan karena persoalan metode pengerjaan, di mana metode ekstraksi RNA kering dan basah dapat dikombinasikan dengan baik.
"Pada tanggal 13 Agustus 2020, diputuskan dalam sebuah rapat koordinasi bersama BPKP bahwa seluruh reagen yang tidak dapat digunakan itu ditarik dan dilakukan redistribusi," ungkap Nasser.
Sampai akhir tahun 2020, proses penggantian alat tes yang dikembalikan menyisakan 12 laboratorium dan sampai tahun 2021 sudah selesai redistribusi.
"Sehingga, permintaan dari RS Unhas 25 ribu dan RSUD Pangkalan Bun sejumlah 3 ribu tidak dapat dipenuhi karena stok sudah tidak tersedia," pungkasnya.