JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih belum mengumumkan tersangka dugaan kasus korupsi pengadaan tanah di Munjul, Kelurahan Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur. Tanah ini, nantinya bakal digunakan untuk membangun rumah dengan down payment atau DP Rp0 yang merupakan program Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Meski belum diumumkan, berdasarkan surat panggilan seorang saksi, dalam perkara ini ada empat tersangka yang sudah ditetapkan oleh KPK. Tersangka pertama adalah Direktur Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles, yang kini sudah dinonaktifkan dari jabatannya.
Selain itu, KPK juga menetapkan dua pihak swasta Anja Runtuwene, dan Tommy Ardian sebagai tersangka. Tak hanya itu, komisi antirasuah ini juga menetapkan korporasi yakni PT Adonara Propertindo.
Empat tersangka, termasuk pihak korporasi tersebut, disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ajay 1 ke-1 KUHP.
Perihal empat tersangka ini, KPK tak angkat bicara. Sebab, sejak awal mereka menyampaikan, detail kasus dan tersangka saat proses penangkapan maupun penahanan para tersangka telah dilakukan.
"Sebagaimana telah disampaikan bahwa kebijakan KPK terkait hal ini adalah pengumuman tersangka akan dilakukan saat penangkapan atau penahanan para tersangka dilakukan," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya pada wartawan beberapa waktu lalu.
Lagipula, saat ini, tim penyidik KPK juga masih terus berupaya melakukan pengusutan dalam kasus ini. Salah satunya, dengan melakukan penggeledahan di sejumlah wilayah di DKI Jakarta termasuk Kantor PT Adonara Propertindo di Gandaria serta rumah dari mereka yang diduga terlibat dalam kasus ini pada Selasa, 9 Maret.
Hasil penggeledahan ini, penyidik menemukan berbagai dokumen yang diduga terkait dengan korupsi pengadaan lahan ini. Selanjutnya, penyidik akan menganalisisnya sebelum melakukan penyitaan sebagai barang bukti.
Hal ini menjadi penting, sebab, setiap penanganan kasus korupsi di KPK perlu kecukupan alat bukti sesuai aturan hukum yang berlaku.
Selain menggeledah sejumlah tempat, KPK juga memanggil sejumlah saksi yang diduga mengetahui dugaan korupsi ini pada Rabu, 10 Maret kemarin.
Dalam pemeriksaan itu, Ali mengatakan, enam saksi termasuk tiga saksi tambahan dari Perumda Sarana Jaya dicecar terkait kegiatan usaha dari Perumda Sarana Jaya dalam pembelian sejumlah aset tanah.
Mereka yang diperiksa adalah Fransiska Sri Kustini CB atau Sr. Franka CB yang merupakan Bendahara Ekonom Kongregasi Suster Suster CB Provinsi Indonesia; Manajer Unit Pelayanan Pengadaan Perumda Pembangunan Sarama Jaya Tahun 2017 sampai Oktober 2020 Rachmat Taufik; dan broker calo tanah, Minan bin Mamad.
Sementara tiga saksi tambahan adalah Indra, Wahyu, dan Yadhi yang merupakan pegawai Perumda Sarana Jaya.
Sebenarnya, KPK juga akan melakukan pemeriksaan terhadap tiga saksi lainnya yaitu Manager Sub Divisi Akuntansi dan Anggaran Sarana Jaya Asep Firdaus Risnandar; serta Junior Manajer Divisi Pertanahan Perumda Pembangunan Sarana Jaya I Gede Aldi Pradana; dan Senior Manajer Divisi Usaha Perumda Pembangunan Sarana Jaya Tahun 2019 sampai 2020 Slamet Riyanto. Namun, mereka telah menyampaikan ketidakhadirannya pada penyidik.
"Tidak hadir dan mengkonfirmasi untuk dilakukan penjadwalan ulang," jelas Ali.
BACA JUGA:
Sementara usai menjalani pemeriksaan, kuasa hukum Fransiska, Dwi Rudatiyani yang hadir saat pemanggilan tersebut menyatakan, salah satu tanah yang bermasalah dengan Perumda Sarana Jaya adalah milik Kongregasi Suster CB Provinsi Indonesia yang tidak pernah diperjual belikan pada pihak BUMD manapun.
Kongregasi suster, sambung Dwi, melakukan penjualan tanah kepada seorang pihak swasta di Yogyakarta yaitu Anja Runtuwene. Adapun tanah yang dijual seluas 41.921 meter persegi seharga Rp104 miliar yang pembayarannya harus rampung pada Agustus 2019.
"Sementara kami baru terima dua kali, Rp5 miliar ditransfer pada 25 Maret 2019 dan Rp5 miliar pada 6 Mei 2019," ungkap Dwi di Gedung Merah Putih KPK.
Dengan berhentinya pembayaran ini, maka, kongregasi memutuskan untuk membatalkan perjanjian jual beli yang sudah disepakati sejak 31 Oktober 2019. Pembatalan serupa juga diajukan lagi ke BPJB dengan pengembalian DP Rp10 miliar pada Mei 2020 lalu.
Hanya saja, selaku pembeli, pihak swasta tersebut malah menggugat Kongregasi Suster ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. "Padahal kami korban tapi (gugatan, red) sudah dicabut per 4 Maret 2020," tegasnya.
Selanjutnya, Dwi menyebut pihak swasta yang bernama Anja Runtuwene ini menjual tanah ke PD Pembangunan Sarana Jaya. Namun, Kongregasi Suster sebagai pemilik tanah tidak tahu menahu perihal aktivitas jual-beli tersebut.
"Kami tidak tahu (dijual lagi, red). Kami baru tahu saat ada panggilan dari Bareskrim pada akhir Juli 2020 bahwa tanah yang belum dilunasi itu dijual ke PD Sarana Jaya," pungkasnya.