Meneropong Usulan Jokowi Tiga Periode
Presiden Joko Widodo (Foto: Twitter @jokowi)

Bagikan:

JAKARTA - Wacana tentang usulan penambahan masa jabatan presiden menjadi masih menjadi perdebatan. Pasalnya, wacana ini berkaitan dengan rencana amendemen terbatas UUD 1945, di mana perubahan masa jabatan presiden menjadi hanya satu periode selama delapan tahun. 

Padahal, berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Dengan demikian, presiden dan wakil presiden dapat menjabat paling lama 10 tahun dalam dua periode sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUD 1945.

Artinya, jika masa jabatan presiden dirubah menjadi delapan tahun per periode, maka presiden yang saat ini menjabat bisa melanjutkan lagi kepemimpinannya di periode ketiga.

Jika kembali ke belakang, usulan-usulan terkait perubahan masa jabatan presiden ini ternyata bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, usulan-usulan ini juga pernah muncul, baik yang kemudian ditetapkan menjadi peraturan maupun tidak.

Pertama, Tap MPRS No. III/MPRS/1963. Soekarno adalah presiden pertama Indonesia. 

Secara de facto, kekuasaan Indonesia jatuh ke tangan Soekarno sejak ditandatanganinya Dekrit Presiden pada 1959. Sebelum lengser, Bung Karno sempat diangkat menjadi presiden seumur hidup oleh MPRS.

Ia diangkat melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Dr. Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Sementara, dalam UUD 1945 sebelum amendemen, masa jabatan tersebut juga telah diatur, yaitu pada Pasal 7 yang berbunyi:

"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali."

Kedua, Tap MPRS No. XVIII/MPRS/1966. Tap MPRS No. III/MPRS/1963 kemudian dicabut dan digantikan dengan Tap MPRS No. XVIII/MPRS/1966.

Keputusan tersebut diambil pada sidang umum keempat MPRS. Namun, penarikan ketetapan ini tidak memengaruhi masa jabatan Presiden Soekarno sampai ada keputusan lain dari MPR hasil pemilihan umum. Ketetapan ini mulai berlaku sejak 5 Juli 1966.

Ketiga, Tap MPR No. XIII/MPR/1998. Setelah 32 tahun menjadi presiden dengan berlandaskan pada Pasal 7 UUD 1945 sebelum amendemen, Soeharto pun lengser dan digantikan oleh BJ Habibie pada tahun 1998.

Saat periode jabatannya, dikeluarkan Tap MPR No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

Melalui ketetapan tersebut, diatur bahwa maksimal masa jabatan presiden dan wakil presiden adalah dua kali periode. Ketentuan ini pun menjadi acuan pemilu presiden yang masih berlaku hingga sekarang.

Keempat, Juru Bicara Partai Demokrat saat itu, Ruhut Sitompul, melontarkan usulan agar masa jabatan presiden diperpanjang atau menjadi lebih dari dua periode. Usulan tersebut kemudian direspons oleh Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Mahfud MD.

Mahfud mengatakan bahwa wacana tersebut merupakan hak siapa saja. Namun, ia mengingatkan bahwa memberikan kekuasaan panjang akan merusak demokrasi.

Kelima, usul Fraksi di MPR. Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyebutkan bahwa secara informal ada anggota fraksi di MPR yang mewacanakan seorang presiden dapat dipilih kembali sebanyak tiga periode.

Ada pula yang mewacanakan bahwa presiden hanya dapat dipilih satu kali, tetapi masa jabatannya menjadi delapan tahun.

Berdasarkan Pasal 7 UUD 1945 setelah amendemen, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.

Kali ini, usulan perubahan masa jabatan presiden bersamaan dengan wacana amendemen kembali naskah asli UUD dan perubahan konstitusi secara menyeluruh.

Peluang Jokowi Tiga Periode

Apabila usulan masa jabatan presiden tiga periode menjadi keputusan akhir amandemen terbatas UUD 1945, maka Joko Widodo (Jokowi) berpeluang untuk melanjutkan masa jabatannya.

Pada akhir tahun 2019 lalu, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, pihaknya tengah menghimpun berbagai masukan terkait amendemen terbatas UUD 1945. Salah satunya, wacana perubahan masa jabatan presiden menjadi hanya satu periode selama 8 tahun.

"Ada juga wacana yang mengatakan bahwa ke depan presiden itu cukup satu kali masa jabatan saja, tetapi tidak lima tahun, delapan tahun, ada kan yang mengatakan demikian," ujar Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 21 November 2019. 

Menurut Arsul, wacana tersebut juga memiliki alasan atau dasar yang patut dipertimbangkan. Menurutnya, dengan satu kali masa jabatan yang lebih lama, seorang presiden dapat menjalankan seluruh programnya dengan baik, ketimbang 5 tahun.

Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Dengan demikian presiden dan wakil presiden dapat menjabat paling lama 10 tahun dalam dua periode sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUD 1945.

"Ya itu kan baru sebuah wacana ya. Dan itu juga punya logical thinking-nya. Karena dengan satu kali masa jabatan tapi lebih lama, dia juga bisa meng-exercise, mengeksekusi program-programnya dengan baik," kata Arsul.

Bagaimana Jika Jokowi Tiga Periode?

Wacana perubahan masa jabatan presiden pun kembali menghangat. Respons terkait kabar 'Jokowi Tiga Periode' pun menuai pro dan kontra berbagai kalangan. 

Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari menilai, dalam politik tidak ada yang tak mungkin. Begitu juga dengan kabar Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa maju kembali pada periode ketiga.

Menurut Qodari, Jokowi bisa dicalonkan kembali untuk tiga periode, asal bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.

Salah satu indikatornya, masuknya Prabowo ke jajaran Kabinet Indonesia Maju, ternyata mampu meredam keterbelahan di level masyarakat dan jumlah hoaks menurun 80 persen.

"Itu salah satu indikatornya, hal ini juga yang kemudian membuat saya melihat, ide dan gagasan Jokowi tiga periode asal sama Prabowo itu, menjadi suatu yang mungkin terjadi," kata Qodari dalam keterangannya, Kamis, 24 Desember 2020. 

"Artinya, dengan cara bergabungnya dua tokoh yang selama ini menjadi simbol representasi masyarakat Indonesia," tambahnya.

Dengan paket Jokowi-Prabowo tersebut, ruang bagi para pelaku yang menggunakan isu agama untuk menjatuhkan lawan akan tertutup.

"Maka ruang untuk tokoh-tokoh yang mau menggunakan isu-isu agama untuk kemenangan pilpres itu menjadi terisolasi, tertutup katakanlah begitu. Karena dua tokoh tersebut sudah bergabung istilahnya cebong dan kampret sudah bergabung begitu," jelasnya.

Sementara itu, pengamat politik Ujang Komarudin mengatakan, Jokowi tidak mungkin maju kembali sebagai calon presiden pada Pilpres 2024, jika mengacu pada konstitusi. Pasalnya, mantan gubernur DKI Jakarta itu sudah menjabat sebagai presiden sebanyak dua periode.   

"Jadi, tidak mungkin maju lagi, karena konstitusi (UUD 1945) membatasi presiden dengan dua periode jabatan. Masyarakat juga ingin mengubah keadaan dengan Pemilu 2024 nanti," kata Ujang Komarudin, Rabu 17 Februari.

Menurut Ujang, Jokowi dimungkinkan maju kembali sebagai calon presiden, jika dilakukan amandemen terhadap UUD 1945. "Terutama pasal yang mengatur pembatasan presiden satu periode dan dapat dipilih kembali pada periode berikutnya, kalau itu bisa diubah, Jokowi bisa saja maju lagi," bebernya.  

Pakar komunikasi politik Hendri Satrio menilai, usulan tiga periode ini hanya memancing respon semua pihak apakah setuju jika Jokowi melanjutkan kepemimpinannya atau sudah cukup dua periode saja. Jika banyak yang setuju maka dimungkinkan untuk merubah konstitusi.

"Saya bingung siapa. Tapi yang pertama kali usulkan tiga periode itu. Tapi menurut saya, kalau memang tidak memerlukan hal yang sangat urgent dan khusus untuk diubah menjadi UU, tiga periode menurut saya sih enggak perlu. Tapi kalau memang ternyata harus ada yang urgent dan mesti diubah ya silahkan aja diubah" jelas Hendri, Kamis 11 Maret.

Pengamat politik Rocky Gerung menilai, Joko Widodo dimungkinkan untuk menjabat kembali sebagai presiden pada periode ketiga mendatang. Asalkan, perlu dilihat kembali rapornya selama memimpin Indonesia.

"Kita usut dulu apakah beliau berprestasi atau tidak. Prestasi dihitung oleh siapa? Oleh akademisi yang netral, pers yang netral," ujar Rocky dalam diskusi webinar bertajuk Jabatan Presiden 3 Periode konstitusional atau inkonstitusional, Kamis 11 Maret.

 "Intinya kalau beliau berprestasi dimungkinkan untuk dikasih bonus," sambungnya.