BENGKULU - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) menuntut mantan Kabid Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Bengkulu Tengah yaitu Elpi Eriantoni selama delapan tahun penjara terkait kasus korupsi.
Terdakwa Elpi dituntut delapan tahun penjara karena dinilai terbukti melakukan korupsi dana retribusi tenaga kerja asing (TKA) di Kabupaten Bengkulu Tengah sejak 2018 hingga 2019.
"Terdakwa atas nama Elpi dituntut hukuman penjara 8 tahun kurungan," kata JPU Kejari Bengkulu Harys Ganda Tiar Sitorus saat membacakan amar tuntutan di depan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkulu Agus Hamzah, dilansir ANTARA, Selasa, 7 Mei.
Karena itu, dalam tuntutannya, terdakwa diduga menerima pembayaran retribusi untuk perpanjangan masa kerja TKA dari salah satu perusahaan di Kabupaten Bengkulu Tengah dan kemudian uang tersebut dikirim ke rekening resmi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bengkulu Tengah yang terdakwa kelola sendiri dan langsung dicairkan di bank.
Namun, uang tersebut tidak disetor oleh terdakwa ke kas daerah (Kasda) seperti yang seharusnya, tapi digunakan oleh terdakwa untuk kepentingan pribadi nya sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp1,6 miliar.
Terdakwa juga dibebankan denda sebesar Rp500 juta subsider enam bulan dan uang pengganti yaitu Rp1,6 miliar dan jika terdakwa tidak membayar maka harta benda terdakwa akan disita atau diganti hukuman penjara empat tahun penjara.
BACA JUGA:
Pada kasus tersebut, hal-hal yang memberatkan yaitu terdakwa merupakan residivis terkait kasus tindak pidana korupsi program penempatan dan pemberdayaan tenaga kerja pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bengkulu Tengah tahun anggaran 2018 hingga 2019 dengan total anggaran Rp1 miliar.
Pada kasus tersebut, terdapat dua jenis pekerjaan yaitu program padat karya infrastruktur yang terbagi di empat desa.
Kemudian, pada 17 Februari 2022 terdakwa divonis hukuman penjara satu tahun dan denda Rp50 juta subsider satu bulan serta membayar kerugian negara Rp416 juta.
"Hal yang memberatkan karena terdakwa merupakan residivis, kemudian hingga saat ini tidak ada pengembalian kerugian negara," terang Harys.