JAKARTA – Ego politik pribadi dianggap akan menjadi batu sandungan pembentukan Presidential Club yang digagas presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Direktur Indostrategic, Ahmad Khoirul Umam mengungkapkan, dari segi gagasan ide Prabowo tersebut merupakan sebuah terobosan baru di khazanah politik Indonesia. Tapi, pelaksanaan ide itu akan tergantung pada kedewasaan masing-masing mantan presiden dalam mengelola ego dalam pola relasi konflik politik personal.
Dia mencontohkan, Prabowo memiliki hubungan baik dengan Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo. Sayangnya, Megawati yang memiliki banyak garis konflik, mulai dari komunikasi yang belum terbuka dengan SBY, dan kini dengan Presiden Joko Widodo.
“Hal ini yang bisa menghambat efektifitas Presidential Club. Meskipun, demi kepentingan bangsa, seharusnya para mantan presiden bisa menyingkirkan ego dan kepentingan politik pribadi masing-masing,” ujar Umam, Minggu 5 Mei 2024.
Menurut dosen Ilmu Politik dan Internasional Studies Universitas Paramadina ini, sebenarnya gagasan pembentukan Presidential Club patut diapresiasi. Sebab, merujuk pada model lembaga Presidential Club di Amerika Serikat, lembaga semacam ini bisa menghadirkan beberapa fungsi strategis. Mulai dari fungsi penasihat informal presiden dari para mantan presiden untuk bertukar pendapat, memberikan nasihat, dan membahas isu-isu strategis terkait masalah politik-pemerintahan dan kebijakan publik.
BACA JUGA:
“Berkumpulnya para mantan presiden dalam Presidential Club bisa menjadi penjaga tradisi dan integritas institusi kepresidenan. Klub presidensial dapat menjadi wadah mereka dapat bekerja sama untuk mempromosikan nilai-nilai dan standar tinggi yang terkait dengan jabatan presiden. Dengan demikian, secara general, lembaga ini bisa membantu menjaga kontinuitas, stabilitas, dan integritas lembaga kepresidenan dalam sistem politik di Indonesia,” terang Umam.
Hal senada dilontarkan peneliti Populi Center, Usep Saepul Ahyar, yang pesimistis ide Prabowo tersebut akan terwujud mengingat masih tingginya egoisme politik dari presiden-presiden sebelumnya. Selain itu, ada perbedaan jika Presidential Club di AS menjadi rujukan. Sebab, di Negeri Paman Sam, setelah lengser para presiden tidak lagi memiliki jabatan politis
“Di Indonesia, mantan-mantan presiden memiliki jabatan politik penting di partainya, mulai ketua umum, hingga ketua majelis tinggi. Ini berpotensi memunculkan konflik kepentingan satu sama lain, dan di antara agenda partai dengan agenda-agenda kenegaraan,” tuturnya.
“Jadi, saya kira terlalu dipaksakan jika Prabowo Subianto ingin membuat Presidential Club dengan kondisi politik saat ini. Lebih baik tetap di sistem kenegaraan yang berlaku. Misalnya pada acara-acara yang sudah berjalan, saya kira juga sudah cukup. Kita tahu ketika acara kenegaraan, sikap politik bisa terlihat. Banyak yang tidak datang, kalau tidak sejalan,” tambah Usep.