JAKARTA - Pejabat senior Perserikatan Bangsa Bangsa mengatakan, pembangunan kembali Gaza, Palestina akan menelan biaya hampir 40 miliar dolar AS (Rp641.180.000.000.000), mendesak donor sektor publik dan swasta untuk berkontribusi pada rencana pascaperang.
Asisten Sekretaris Jenderal dan Direktur Biro Regional Program Pembangunan PBB (UNDP) untuk Negara-negara Arab Abdullah Al Dardari mengatakan, fase pemulihan awal Gaza yang berlangsung selama tiga hingga lima tahun akan menelan biaya sekitar 2 miliar dolar AS (Rp32.059.000.000.000). Dana tersebut terutama akan digunakan untuk membersihkan puing-puing, memastikan layanan dasar tetap berjalan dan memulai rekonstruksi beberapa rumah.
"Beberapa donor harus sadar bahwa mereka harus mengambil risiko dengan menginvestasikan sedikit uang," katanya kepada The National News, seperti dikutip 3 Mei.
"Itulah mengapa kami mengatakan mari kita punya 2 miliar dolar AS (Rp32.059.000.000.000) (pada awalnya), sebuah proses yang memungkinkan kita memberikan penghidupan yang bermartabat bagi satu juta warga Palestina, yang akan meningkatkan jumlah tersebut menjadi 3 miliar dolar AS (Rp48.088.500.000.000), namun tetap saja, itu masih dalam batas wajar," urainya.
Lebih jauh dikatakannya, rencana rekonstruksi jangka panjang akan memakan waktu puluhan tahun untuk diselesaikan, katanya, seraya menambahkan lembaga tersebut dihadapkan pada masalah pendanaan.
"Kita dihadapkan pada dilema namun tidak ada seorang pun yang mau menginvestasikan uang dalam jumlah besar di Gaza, sebelum mereka melihat proses perdamaian yang serius dan kredibel. Namun untuk melihat proses perdamaian yang serius dan kredibel, sekali lagi, kami tidak tahu apa yang diperlukan," kata Al Dardari.
Jalur Gaza telah dibombardir secara brutal oleh Israel sejak awal Oktober. Daerah-daerah luas di wilayah kantong tersebut telah menjadi puing-puing, dengan lebih dari 34.500 orang tewas, sementara beberapa lainnya masih terjebak di bawah puing-puing.
Pembersihan dan pembangunan kembali kawasan yang hancur akan memakan waktu lama dan berbahaya karena adanya ancaman ranjau dan rudal yang terkubur di bawah bangunan yang runtuh atau rusak.
Tim UNDP saat ini berada di Gaza untuk menilai dampaknya. Mereka menemukan bahwa 26 dari 30 kota telah berhenti bekerja, kata Al Dardari.
Pelayanan sipil dan masyarakat "tidak lagi memiliki mesin apa pun, mereka tidak dapat mengelola limbah padat, mereka tidak dapat menyediakan layanan kota apa pun".
Sejauh ini, UNDP memperkirakan lebih dari 70 persen rumah di Gaza telah hancur. Namun, badan tersebut memperingatkan, angka tersebut bisa mencapai 80 atau 90 persen jika perang terus berlanjut.
Al Dardari mengatakan, perang Israel di Gaza telah menghasilkan 37 juta ton puing, sebagian besar berisi bom yang tidak meledak, yang membutuhkan waktu lebih dari satu dekade untuk dihilangkan.
"Pada perang tahun 2014, kita memiliki 2,4 juta ton puing setelah 51 hari pertempuran. Saat ini, kita memiliki 37 juta ton dan jumlahnya terus bertambah setiap hari," jelasnya.
Ketidakpastian mengenai hasil dari proses perdamaian telah membuat komunitas internasional tidak yakin kapan harus mulai memberikan layanan tersebut kepada warga sipil, tambahnya.
BACA JUGA:
"Kami melakukan perencanaan yang sangat rumit, yang kami sebut perencanaan just-in-time. Kami harus mulai bekerja untuk menghilangkan puing-puing segera pada hari pertama," jelasnya, mengacu pada hari setelah perang berakhir.
Al Dardari mengatakan pekerjaan tersebut akan dimulai di bagian utara Gaza agar para pengungsi dapat kembali ke rumah mereka.
"Saat paling berbahaya dalam situasi pasca-konflik adalah ketika ada gencatan senjata dan kita tidak siap untuk mengambil tindakan untuk mencari penghidupan, pembangunan kembali, dan pemulihan ekonomi," tandasnya.