Bagikan:

JAKARTA - Laporan PBB mengenai dampak lingkungan dari perang Hamas-Israel pada Hari Selasa menyebutkan, konflik di Gaza telah menciptakan polusi tanah, air, dan udara yang belum pernah terjadi sebelumnya di wilayah tersebut, menghancurkan sistem sanitasi dan meninggalkan berton-ton puing akibat bahan peledak.

Konflik terbaru yang pecah pada 7 Oktober 2023 dengan cepat membalikkan kemajuan terbatas dalam meningkatkan fasilitas desalinasi air dan pengolahan air limbah di wilayah tersebut, memulihkan lahan basah pesisir Wadi Gaza dan investasi dalam instalasi tenaga surya, menurut penilaian awal Program Lingkungan PBB (UNEP).

Senjata peledak telah menghasilkan sekitar 39 juta ton puing, kata laporan tersebut. Setiap meter persegi Jalur Gaza sekarang dipenuhi dengan lebih dari 107 kilogram (236 pon) puing. Itu lebih dari lima kali lipat puing yang dihasilkan selama pertempuran di Mosul, Irak, pada tahun 2017, kata laporan tersebut.

"Semua ini sangat merugikan kesehatan masyarakat, ketahanan pangan, dan ketahanan Gaza," kata Direktur Eksekutif UNEP Inger Andersen, melansir Reuters 18 Juni.

Lingkungan Gaza sudah menderita akibat konflik yang berulang, pertumbuhan perkotaan yang cepat, dan kepadatan penduduk yang tinggi, sebelum konflik terakhir dimulai pada 7 Oktober.

Penilaian PBB menambah kekhawatiran tentang krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung dan biaya lingkungan akibat perang, dengan Ukraina juga mencatat kerusakan ekologi yang meluas selama dua tahun terakhir.

"Memahami dampak perang terhadap lingkungan merupakan tantangan besar di zaman kita," kata Eoghan Darbyshire, seorang peneliti senior di Conflict and Environment Observatory nirlaba yang berbasis di Inggris.

"Dampaknya tidak hanya akan terasa secara lokal di tempat terjadinya pertempuran, tetapi dapat dipindahkan atau bahkan dirasakan pada skala global melalui emisi gas rumah kaca," tandasnya.

Penilaian PBB berasal dari permintaan Desember 2023 dari Otoritas Kualitas Lingkungan Palestina agar UNEP mencatat kerusakan lingkungan. UNEP diberi mandat untuk membantu negara-negara dalam mitigasi dan pengendalian polusi di wilayah yang terkena dampak konflik bersenjata atau terorisme.

Karena masalah keamanan dan pembatasan akses, PBB menggunakan survei penginderaan jarak jauh dan data dari entitas teknis Palestina, serta penilaian kerusakan dari Bank Dunia, dalam laporan mereka. Namun, pengukuran di lapangan akan sangat penting untuk memahami tingkat polusi tanah dan air, kata Darbyshire.

Sistem air, sanitasi dan kebersihan sekarang hampir sepenuhnya tidak berfungsi, menurut laporan tersebut, dengan lima pabrik pengolahan air limbah Gaza ditutup.

Pendudukan jangka panjang Israel telah menimbulkan tantangan lingkungan yang besar di wilayah Palestina terkait kualitas dan ketersediaan air, menurut laporan tahun 2020 oleh Program Pembangunan PBB.

Lebih dari 92 persen air di Jalur Gaza saat itu dianggap tidak layak untuk dikonsumsi manusia.

Melihat skala kerusakan lingkungan, "menurut saya, sebagian besar wilayah Gaza tidak akan dikembalikan ke keadaan aman dalam satu generasi, bahkan dengan dana dan kemauan yang tidak terbatas," kata Darbyshire.