JAKARTA - Israel dan Hamas dinilai melakukan kejahatan perang pada tahap awal perang Gaza, demikian temuan penyelidikan PBB pada Hari Rabu, menyatakan tindakan Israel juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan karena menimbulkan banyak korban sipil.
Temuan tersebut berasal dari dua laporan paralel, satu berfokus pada serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober dan yang lainnya mengenai respons militer Israel, yang diterbitkan oleh Komisi Penyelidikan PBB (COI), yang memiliki mandat yang sangat luas untuk mengumpulkan bukti dan mengidentifikasi pelaku kejahatan internasional yang dilakukan di Israel dan wilayah Palestina yang diduduki.
Laporan tersebut, yang mencakup konflik hingga akhir Desember, menemukan kedua belah pihak melakukan kejahatan perang, termasuk penyiksaan, pembunuhan atau pembunuhan yang disengaja, penghinaan terhadap martabat pribadi hingga perlakuan tidak manusiawi atau kejam.
Israel juga melakukan kejahatan perang tambahan, termasuk kelaparan sebagai metode peperangan, katanya, dengan mengatakan Israel tidak hanya gagal menyediakan pasokan penting seperti makanan, air, tempat tinggal, dan obat-obatan bagi warga Gaza tetapi "bertindak untuk mencegah pasokan kebutuhan tersebut oleh orang lain".
Beberapa kejahatan perang seperti pembunuhan juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Israel, kata pernyataan COI, menggunakan istilah yang diperuntukkan bagi kejahatan internasional paling serius yang secara sadar dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap warga sipil.
"Jumlah korban sipil yang sangat besar di Gaza dan kerusakan yang meluas terhadap objek dan infrastruktur sipil merupakan hasil yang tak terelakkan dari strategi yang dilakukan dengan maksud untuk menyebabkan kerusakan maksimum, mengabaikan prinsip pembedaan, proporsionalitas, dan tindakan pencegahan yang memadai," kata pernyataan COI, melansir Reuters 12 Juni.
Temuan COI didasarkan pada wawancara dengan korban dan saksi, ratusan kiriman, citra satelit, laporan medis, dan informasi sumber terbuka yang diverifikasi.
Di antara temuan dalam laporan setebal 59 halaman tentang serangan 7 Oktober, komisi tersebut memverifikasi empat insiden pembunuhan massal di tempat penampungan umum yang menurutnya menunjukkan militan memiliki "instruksi operasional tetap".
Komisi tersebut juga mengidentifikasi "pola kekerasan seksual" oleh kelompok bersenjata Palestina tetapi tidak dapat memverifikasi laporan pemerkosaan secara independen.
Laporan Gaza yang lebih panjang setebal 126 halaman mengatakan, penggunaan senjata Israel seperti bom berpemandu MK84 dengan kapasitas destruktif yang besar di daerah perkotaan, tidak sesuai dengan hukum humaniter internasional "karena mereka tidak dapat secara memadai atau akurat membedakan antara target militer yang dituju dan objek sipil".
Laporan itu juga mengatakan pria dan anak laki-laki Palestina menjadi sasaran kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penganiayaan gender, mengutip kasus-kasus di mana para korban dipaksa telanjang di depan umum dalam tindakan-tindakan yang "dimaksudkan untuk menimbulkan penghinaan yang parah".
COI mengatakan Israel menghalangi pekerjaannya dan mencegah penyelidik mengakses Israel dan wilayah Palestina yang diduduki. Israel tidak bekerja sama dengan komisi tersebut, yang menurutnya memiliki bias anti-Israel. Misi diplomatik Israel untuk PBB di Jenewa menolak temuan tersebut.
"COI sekali lagi membuktikan bahwa semua tindakannya adalah untuk melayani agenda politik yang sempit terhadap Israel," kata Meirav Eilon Shahar, Duta Besar Israel untuk PBB di Jenewa.
Hamas tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Diketahui, konflik terbaru di Gaza pecah setelah kelompok militan Palestina yang dipimpin Hamas melakukan serang ke wilayah selatan Israel pada 7 Oktober 2023. Menurut hitungan Israel, lebih dari 1.200 orang tewas dan 250 orang disandera.
Itu memicu pembalasan yang dilakukan oleh Israel, melakukan blokade, serangan udara hingga operasi darat yang hingga kemarin telah menewaskan sekitar 37.164 orang dan 84.832 orang luka-luka, menurut hitungan Palestina, dikutip dari WAFA.
BACA JUGA:
COI yang terdiri dari tiga pakar independen ,termasuk ketuanya mantan kepala hak asasi manusia PBB asal Afrika Selatan Navi Pillay, dibentuk pada tahun 2021 oleh dewan Jenewa.
Navi Pillay mengatakan, "sangat penting bagi semua orang yang telah melakukan kejahatan untuk dimintai pertanggungjawaban," dikutip dari The National News.
Terkadang, bukti yang dikumpulkan oleh badan-badan yang diamanatkan PBB tersebut telah menjadi dasar untuk penuntutan kejahatan perang dan dapat digunakan oleh Mahkamah Kriminal Internasional.
Temuan-temuan itu akan dibahas oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa minggu depan.