JAKARTA - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengingatkan kembali ihwal dampak peningkatan suhu udara terhadap sektor pertanian di Indonesia.
Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN Yudhistira Nugraha mengatakan, kenaikan suhu dapat mempengaruhi produktivitas tanaman pangan.
"Laju evaporasi lebih tinggi, sehingga air lebih banyak hilang dan laju transpirasi juga meningkatkan yang membuat tanaman lebih banyak membutuhkan air," ujarnya saat dihubungi, Jumat 3 Mei, disitat Antara.
Yudhistira menjelaskan, saat malam hari jika suhu meningkatkan akan ada kompensasi hasil fotosintesis yang akan dibuang melalui transpirasi, sehingga hasil panen menurun.
Pada tanaman tertentu seperti padi, lanjut dia, fase yang paling sensitif suhu tinggi lebih dari 35 derajat Celcius adalah saat primodial-pembungaan. Suhu tinggi dapat menyebabkan keguguran polen atau serbuk sari, sehingga tanaman menjadi hampa.
Bentuk mitigasi yang dapat dilakukan petani adalah menanam varietas yang tahan terhadap suhu tinggi.
Saat ini belum banyak dilakukan pemuliaan padi yang toleran suhu tinggi, namun ada beberapa varietas yang sudah dilepas dari program penelitian cekaman suhu tinggi, yaitu Inpari Digdaya (tetuanya varietas dular yang tahan suhu tinggi).
"Karena di Indonesia tidak ada cekaman suhu tinggi untuk saat ini --tidak seperti di negara-negara tropis yang lebih dari 11 derajat lintang utara— maka belum terbukti adaptasinya," kata Yudhistira.
BACA JUGA:
Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, gelombang panas atau heatwave tengah melanda beberapa negara di kawasan Asia, seperti Filipina, Thailand, India, hingga Bangladesh.
Fenomena gelombang panas merupakan siklus rutin yang terjadi setiap tahun saat matahari bergerak ke belahan bumi. Radiasi matahari menyebabkan pemanasan di permukaan bumi, sehingga menimbulkan gelombang panas di wilayah daratan.
Yudhistira mengungkapkan meski peningkatan suhu udara terjadi di sejumlah negara Asia dan menyebabkan kerusakan terhadap lahan-lahan pertanian, namun belum ada laporan dampak fenomena itu ke Indonesia.
"Mungkin karena Indonesia agak lebih ke selatan garis ekuator (efek panas berkurang)," tandasnya.