PDIP Tak Satu Suara Soal Penilaian Kinerja Pemprov DKI Selama Setahun Pandemi
Gedung DPRD DKI Jakarta (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Kemarin, Indonesia genap memasuki satu tahun diterpa pandemi COVID-19. Kasus penularan virus corona belum berakhir dan Fraksi PDIP DPRD DKI mengemukakan pandangannya terkait penanganan COVID-19 oleh Pemprov DKI selama setahun ini.

Anggota Fraksi PDIP DPRD DKI yang juga Ketua DPRD DKI, Prasetio Edi Marsudi menganggap penanganan pandemi sudah baik dan kasus mulai menurun. Salah satu faktornya adalah program vaksinasi yang sedang dijalankan.

"Alhamdulillah, pandemi di jakarta sudah menurun. Mungkin dengan adanya vaksin. Semua masyarakat jakarta harus divaksin. Saya minta eksekutif jangan ada tebang pilih. Transparan saja," kata Prasetio pada Selasa, 2 Februari.

Bahkan, Prasetio menyarankan pemerintah daerah lain meniru kerja Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam menghadapi pandemi. Menurut Prasetio, DKI memiliki upaya testing, tracing, dan treatment (3T) yang masif.

"Saya minta daerah penunjang Jakarta contoh juga lah, Jakarta. Kalau penunjang Jakarta enggak tertib, akan berdampak ke Jakarta juga karena banyak pekerja Jakarta tinggal di daerah penyangga," ucap dia.

Apresiasi ini bertolak belakang dengan sikap Anggota Fraksi PDIP Gilbert Simanjuntak. Menurut Gilbert, selama setahun pandemi, kebijakan Anies lebih banyak berpolemik dengan pemerintah pusat.

Lalu, Gilbert mengakui memang angka testing (pemeriksaan) di Jakarta cukup tinggi. Sayangnya, hal itu tidak dibarengi dengan tingginya tracing (penelusuran kontak).

"Testing tinggi karena ada orang yang bisa berkali-kali dites. Artinya, tracing rendah. Padahal testing harus diikuti tracing. Idealnya, dari satu kasus harus di-tracing 33 orang. Sementara data DKI tidak sampai satu banding tiga," ujar Gilbert.

Selain itu, pengawasan protokol kesehatan tidak dilakukan secara menyeluruh. Kata Gilbert, DKI hanya fokus kepada pengawasan di tempat usaha. Sementara di komunitas seperti pasar tak lagi diawasi.

Kemudian, masalah kelelahan tenaga kesehatan hingga berjubelnya penerima vaksinasi dalam satu lokasi. "Ini karena tidak ada perencanaan yang baik. Misalnya beban kerja dengan jumlah penerima vaksin, sehingga terjadi eksploitasi tenaga kesehatan," ungkap dia.