Bagikan:

JAKARTA - Rezim militer Myanmar terus berupaya melegalkan penahanan selama mungkin terhadap pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi yang mereka tahan sejak melakukan kudeta pada 1 Februari dini hari.

Terbaru, dalam sidang kedua yang dijalani Suu Kyi secara konferensi video, Senin 1 Maret, pemimpin Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) ini ditambahkan dua tuduhan, sehingga total i menghadapi 4 tuduhan. 

Tuduhan baru pertama yang ditambahkan adalah melanggar Pasal 505b KUHP terkait mengeluarkan pernyataan, rumor atau laporan apa pun yang kemungkinan akan mempengaruhi anggota masyarakat untuk melakukan suatu pelanggaran terhadap negara, seperti melansir Myanmar Now

Yang kedua adalah untuk dugaan pelanggaran Pasal 67 Undang-Undang Telekomunikasi, karena memiliki atau menggunakan perangkat komunikasi terbatas yang memerlukan lisensi. 

Sebelumnya, Suu Kyi telah dikenai tuduhan mengimpor walkie-talkie secara ilegal yang melanggar Undang-Undang Ekspor dan Impor, dan melanggar Undang-Undang Penanggulangan Bencana Alam karena melanggar peraturan yang bertujuan untuk mengekang Covid-19 saat berkampanye dalam Pemilu November 2020.

Dengan empat tuduhan yang dialamatkan rezim militer kepadanya, Suu Kyi akan dijerat dengan hukuman berlapis, akumulasi dari setiap tuduhan. Total hingga saat ini Aung San Suu Kyi diperkirakan terancam hukuman 9 tahun penjara.

Terkait hal ini, pengacara yang dipersiapkan NLD menyebut Aung San Suu Kyi telah dilanggar hak asasinya, lantaran belum mendapatkan persidangan yang adil terkait pendampingan pengacara.

Selain tidak bisa didampingi pengacara dalam persidangan, Suu Kyi juga belum bisa bertemu dengan pengacara, kendati seluruh perizinan sudah diurus sejak 16 Februari lalu.  

"Dia (Suu Kyi) meminta pada hakim untuk menemui pengacara hukumnya. Hakim menyuruh polisi untuk mewujudkannya. Sejauh ini dia belum mendapatkan persidangan yang adil karena tidak ada pengacara yang mewakilinya. Hak asasinya telah dilanggar, kata U Khin Maung Zaw, salah satu dari dua pengacara Aung San Suu Kyi, melansir The Irrawaddy.