Bagikan:

JAKARTA - Partai Amanat Nasional (PAN) menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang pengurus partai politik (parpol) menjabat Jaksa Agung. PAN sepakat jika jaksa agung terikat dengan partai maka akan sangat berpotensi menyalahgunakan kewenangan.

"Bisa saja untuk mempengaruhi kebijakan dan agenda politik. Bisa juga untuk melindungi atau mencari-cari kesalahan para pengambil kebijakan yang notabene banyak dari unsur parpol," ujar Ketua Fraksi PAN DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu, 6 Maret.

Menurut Ketua DPP PAN itu, pertimbangan majelis hakim sangat tepat dan beralasan terkait posisi Jaksa Agung sebagai otoritas independen dalam mengajukan penuntutan.

Terlebih, kata Saleh, Jaksa Agung adalah jabatan yang sangat strategis. Sehingga sosok Jaksa Agung harus benar-benar independen.

"Jabatan Jaksa Agung itu berbeda dengan jabatan menteri. Kalau menteri, posisinya murni sebagai pembantu presiden. Sementara Jaksa Agung adalah pejabat tinggi yang harus benar-benar independen," jelasnya.

Oleh karena itu, tambah Saleh, Jaksa Agung tidak boleh terikat apa pun dengan kepentingan di luar kejaksaan. Apalagi dengan kepentingan politik.

"Itulah sebabnya Jaksa Agung juga menangani kasus-kasus pelanggaran hukum di kementerian/lembaga, meskipun mereka pembantu presiden," pungkasnya.

Sejak berdiri 12 Agustus 1945 sampai sekarang, jabatan Jaksa Agung yang saat ini dipimpin Sanitiar Burhanuddin merupakan Jaksa Agung yang ke-24.

Jabatan Jaksa Agung dari pengurus partai sempat menuai pro dan kontra sejak Presiden RI Joko Widodo menunjuk Muhammad Prasetyo yang merupakan kader Partai NasDem.

Jabatan Jaksa Agung dari kalangan partai politik pernah dijabat oleh Baharuddin Lopa periode 6 Juni 2001 sampai dengan 3 Juli 2001 dari Partai Golkar, kemudian Marzuki Darusman periode 29 Oktober 1999 s.d. 1 Juni 2001 merupakan seorang jaksa karier dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Adapun putusan MK tersebut tertuang dalam putusan nomor 6/PUU-XXII/2024. Merupakan gugatan oleh serang jaksa bernama Jovi Andrea Bachtiar, yang menggugat Undang-Undang Kejaksaan.

Dalam sidang pendahulu (1/2), pemohon menyebutkan Pasal 20 UU Kejaksaan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945.

Dalam gugatannya pemohon menyebut keterlibatan aktif penegak hukum dalam pragmatisme politik dengan sedang atau merangkap menjadi anggota politik dinilai akan merusak independensi kejaksaan secara inkonstitusional, utamanya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Jaksa Agung yang memiliki keterlibatan dengan partai politik sangat memungkinkan adanya kontrak politik atau mendapatkan tekanan dari kolega politiknya. Terlebih lagi, saat ini belum ada mekanisme checks and balances berupa fit and proper test pada pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung.

Jaksa Agung dapat saja diberhentikan dari jabatannya apabila dianggap membangkang dari kolega politiknya.

Untuk itu, dalam petitumnya, pemohon meminta agar Mahkamah menambahkan syarat "g. Tidak sedang terdaftar sebagai anggota partai politik atau setidak-tidaknya telah 5 tahun keluar dari keanggotaan partai politik, baik diberhentikan maupun mengundurkan diri" dalam Pasal 20 UU Kejaksaan