Bagikan:

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan melarang pengurus partai politik (parpol) untuk menjadi jaksa agung. Menurut MK, pengurus parpol harus sudah mundur 5 tahun sebelumnya jika hendak menjabat jaksa agung.

Ketentuan tersebut tertuang dalam putusan MK Nomor 6/PUU-XXII/2024 yang diajukan aktivis antikorupsi Jovi Andrea Bachtiar terkait uji materiil aturan mengenai syarat pengangkatan jaksa agung dalam UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

"Mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis 29 Februari.

MK mengubah ketentuan Pasal 20 UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI, dengan menambahkan frasa pelarangan status kepengurusan di partai politik paling lama telah berhenti selama 5 tahun.

"Menyatakan Pasal 20 UU Nomor 11 Tahun 2021 bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'Untuk dapat diangkat menjadi jaksa agung harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a sampai dengan huruf f termasuk syarat bukan merupakan pengurus partai politik, kecuali telah berhenti sebagai pengurus partai politik sekurang-kurangnya 5 tahun sebelum diangkat sebagai jaksa agung'," kata Suhartoyo.

Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi Saldi Isra menerangkan, jangka waktu 5 tahun sangat cukup untuk seorang yang menjabat jaksa agung agar bebas dari berbagai kepentingan politik maupun intervensi partai. Ketentuan tersebut dinilai MK dapat mencegah jaksa agung terafiliasi dengan partai politik mana pun.

Namun, MK tidak memberi batasan waktu bagi kader biasa di partai politik yang ditunjuk sebagai jaksa agung.

“Bagi calon jaksa agung yang belum diangkat menjadi jaksa agung merupakan kader partai politik, cukup melakukan pengunduran diri sejak dirinya diangkat menjadi jaksa agung,” pungkas Saldi.