Bagikan:

JAKARTA - Direktur Eksekutif Centre of Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang jabatan Jaksa Agung diisi oleh pengurus partai politik (parpol) sudah tepat.

Menurut Uchok, putusan MK tersebut bisa menjaga aspek profesionalitas jaksa agung sekaligus mencegah potensi terjadinya politisasi kasus.

“Sudah tepat itu. Sekali pun ditunjuk presiden, memang sebaiknya jabatan jaksa agung diisi nonpartisan partai, biar bisa profesional dan mencegah politisasi kasus,” tutur Uchok saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat 1 Maret, disitat Antara.

Dia membandingkan, kinerja Kejaksaan Agung yang kini dipimpin ST Burhanuddin dengan jaksa agung yang diisi kader parpol. Menurut Uchok, kejaksaan saat ini cukup progresif dalam mengusut kasus korupsi dan cenderung tidak pilih terhadap politikus.

“Kalau yang sebelumnya, kan, sempat berpolemik karena ada kasus yang terkesan dipaksakan. Bahkan, konflik antarelite partai dibawa ke ranah hukum,” ucapnya.

MK mengabulkan sebagian gugatan uji materi syarat pengangkatan jaksa agung, yakni Pasal 20 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada sidang pleno Kamis 29 Februari. Gugatan itu diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar yang berprofesi sebagai jaksa.

Amar putusan MK mengubah norma pasal tersebut dengan menambahkan syarat lain, yakni yang diangkat menjadi jaksa agung bukan merupakan pengurus parpol kecuali telah berhenti sekurang-kurangnya lima tahun sebelum diangkat.

Dengan begitu, pasal tersebut selengkapnya berbunyi “Untuk dapat diangkat menjadi jaksa agung harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a sampai dengan huruf f termasuk syarat bukan merupakan pengurus partai politik kecuali telah berhenti sebagai pengurus partai politik sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebelum diangkat sebagai jaksa agung”.

Adapun Jovi, dalam pokok permohonannya, meminta Pasal 20 UU Nomor 11 Tahun 2021 juga mengatur syarat agar anggota parpol tidak boleh diangkat menjadi jaksa agung. Atau jika seseorang tersebut pernah terdaftar sebagai anggota parpol, dia harus telah keluar minimal sejak lima tahun sebelum diangkat.

MK tidak dapat mengabulkan seluruh petitum Jovi, sebab mahkamah menemukan bahwa ada perbedaan tugas, fungsi, dan kewenangan antara “pengurus” parpol dan “anggota” parpol.

Menurut MK, pengurus parpol lebih memiliki keterikatan yang kuat terhadap partainya karena seorang pengurus memilih untuk terlibat lebih dalam dengan partainya; sementara anggota parpol bisa saja menjadikan parpol hanya sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan politik.

Sebab itu, MK memandang pengurus parpol berpotensi memiliki konflik kepentingan ketika diangkat menjadi jaksa agung tanpa dibatasi oleh waktu yang cukup untuk terputus afiliasi dengan parpol yang menaungi dirinya.

“Apabila dikaitkan dengan permohonan pemohon, menurut mahkamah, syarat untuk sudah keluar selama lima tahun dari partai politik sebelum diangkat menjadi jaksa agung, haruslah diberlakukan bagi calon jaksa agung yang sebelumnya merupakan pengurus partai politik,” demikian pertimbangan hukum MK sebagaimana dikutip dari salinan Putusan Nomor Nomor 6/PUU-XXII/2024.