Bagikan:

JAKARTA – Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bakir Ihsan menilai bahwa terlambatnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 menjadi salah satu penyebab masih maraknya terjadi pilkada kotak kosong di 2024.

Putusan MK tersebut diketahui memangkas ambang batas pencalonan kepala daerah di kisaran 6-10 persen sesuai dengan jumlah populasi di daerah itu dari sebelumnya sebesar 25 persen suara parpol atau 20 persen raihan kursi di DPRD.

“Bagi saya itu (putusan MK) terlambat dirilis. Parpol-parpol tidak punya cukup waktu untuk mencari kandidat yang bakal diusung, dan mereka sudah terlanjur berkoalisi untuk mengusung calon tunggal,” ujarnya, Minggu 8 September 2024.

Di sisi lain, masih banyaknya pilkada kotak kosong di 2024 juga menunjukkan kegagalan kaderisasi atau rekrutmen kepemimpinan di tubuh parpol. Belum lagi, kata Bakir, masih banyak parpol yang menerapkan pragmatisme politik, dimana mereka lebih memilih mendukung kandidat yang potensial menang ketimbang bersusah payah mengusung kader sendiri.

“Masih banyak parpol di Indonesia yang enggan berfungsi sebagai rekrutmen kepemimpinan. Tapi, lebih kepada lapak. Mereka hanya menyediakan tempat bagi calon eksternal,” imbuhnya.

Dia menegaskan, pilkada kotak kosong akan memperburuk kondisi demokrasi di level daerah karena menihilkan kompetisi sehat sekaligus membatasi pilihan publik terhadap calon pemimpin mereka. Hal ini akan menyebabkan masyarakat apatis terhadap penyelenggaran pemilu dan enggan datang ke TPS di masa depan.

“Ini sebuah ironi, karena sebagai bangsa yang besar ternyata memunculkan calon yang terbatas, bahkan sangat terbatas, sementara potensi yang ada sangat banyak. Ini kembali pada keseriusan parpol untuk melakukan kaderisasi dan rekrutmen untuk memunculkan kader-kader terbaik sebagai calon pemimpin,” tukas Bakir.