Bagikan:

JAKARTA - Netizen Indonesia menggunakan rata-rata enam jam waktunya dalam sehari untuk mengakses internet. Seringkali, kebebasan berekspersi diartikan dengan mengekspresikan pendapat di ruang digital dengan bebas tanpa batas.

Berdasarkan data Mafindo, hoaks muncul dua kali lipat lebih banyak pada pemilu 2024 dibandingkan dengan Pemilu 2019. Isu yang paling banyak muncul adalah isu politik seputar penyelenggaraan pemilu, baik pada pasangan calon presiden, maupun pada proses penghitungan suara.

Kemunculan berita tidak benar atau hoaks hanya akan semakin memperkeruh suasana, sehingga diperlukan tanggung jawab semua pihak untuk sadar dalam menyampaikan pendapat di ruang digital. Karena itu, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) menyelenggarakan Obral Obrol liTerasi Digital, pada Jumat 1 Maret lalu yang mengangkat topik "Bebas Bersuara, Ingat Etikanya!".

Menurut Novi Kurnia, dari Japelidi dan Dewan Pengarah Siberkreasi, Ketika berinteraksi di ruang digital, berarti memiliki tanggung jawab terrhadap sesama pengguna.

Novi menambahkan untuk meningkatkan kesadaran tentang etika digital perlu menjunjung tinggi identitas sebagai orang Indonesia yang ramah. Indonesia memiliki peta jalan dalam literasi digital 'CABE, yaitu cakap, aman, budaya, dan etis.

"Bahwa yang namanya etis bermedia digital itu penting. Karena ini panduan untuk kita sebagai warga negara yang memiliki keragaman budaya, sebagai panduan berperilaku di ruang digital," imbuh Novi.

Etika digital perlu ditingkatkan karena Indonesia pernah mendapatkan predikat sebagai netizen paling tidak sopan. Hal ini disebabkan karena literasi digital yang masih rendah. Berdasarkan riset yang dilakukan Kominfo, indeks literasi digital mengalami peningkatan, meski masih dalam skala sedang dalam pilar yang sitafnya etis. Karena itu, harus ada kesadaran bahwa apapun yang diunggah di media sosial dapat menjadi jejak digital yang tak akan mudah hilang.

Broadcaster, Joshua Nafi menyampaikan bahwa beretika di ruang digital adalah menjaga etika komunikasi dengan adanya kesadaran, tanggung jawab, integritas, dan kebajikan yang dapat menjadi dasar bentuk kedewasaan dalam berinteraksi di ruang digital.

Karena itu, pentingnya etika dalam dunia digital menjadi satu hal yang tak bisa lepas dari dunia digital. Menghakimi orang lain terkadang menjadi salah satu tindakan warganet yang masih sering terjadi ketika menghadapi suatu informasi.

"Daripada mencegah apakah nggak, lebih baik justru dari dalam diri kita sendiri dulu nih yang mikir, kedewasaan itu lagi. Bayangin pengguna media sosial mikir dulu aja ini bener nggak ya," ungkap Joshua.

Ketika mampu berpikir secara dewasa dalam menggunakan sosial media maka masyarakat dapat memiliki kontribusi untuk dunia yang lebih damai dan baik.

Sedangkan Konten Kreator, Reza Nangin berpendapat bahwa kebebasan di ruang digital sering tidak diiringi dengan etika yang memicu perselisihan dan tercipta ekosistem yang tak lagi menarik.

Dalam kebebasan berpendapat sebaiknya diiringi dengan pemahaman dalam konteks pembahasan. Reza menambahkan bahwa sikap sopan santun dalam menyampaikan pendapat harus teta menjadi identitas.

Reza juga berbagi pengalaman saat menghadapi netizen terkait isu pilpres, saat ia mengkritisi sebuah konten dari kreator lain dan mendapatkan serangan yang justru diuar konteks pembahasan.

“Nggak semua harus direspons, karena waktu kita akan habis. Kalau misalnya ada yang mau serius nanya pasti akan kontak 'direct messages' dan aku lebih respect,” ujar Reza.

Berkomentar tidak baik di media sosial justru akan merugikan diri sendiri, karena ada kemungkinan bersinggungan dengan UU ITE. Sehingga memiliki efek buruk secara jangka panjang, seperti sulit mendapatkan pekerjaan karena jejak digital tak baik terekam.