Wakil Ketua KPK Soal Putusan Praperadilan Eddy Hiariej: Masuk Akal atau Masuk Angin?
Mantan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin, 20 Maret. (Tsa Tsia/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan melakukan kajian terhadap putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang membatalkan status tersangka eks Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej. Pertimbangan hakim harus dicermati.

"Pertimbangan hakim masuk akal atau masuk angin ini yang harus dicermati,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Rabu, 31 Januari.

Alexander memastikan Eddy tak akan lolos dari jerat hukum di kasus suap dan gratifikasi. Ia membuka peluang menetapkan kembali akademisi itu sebagai tersangka.

“Kalau menurut hakim bukti tidak cukup, ya, kita lengkapi atau cukupi buktinya dan tetapkan tersangka lagi,” tegasnya.

Sementara itu, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan mereka masih menunggu berkas dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Barulah setelah itu kajian dilakukan.

“KPK akan menunggu risalah putusan lengkap sidang praperadilan ini lebih dahulu untuk kami pelajari guna menentukan langkah-langkah hukum berikutnya,” katanya dalam keterangan tertulis.

Diberitakan sebelumnya, KPK kalah dalam sidang gugatan praperadilan melawan Eddy Hiariej. Hakim tunggal memutuskan penetapan tersangka di kasus dugaan suap dan gratifikasi tidak sah.

"Hakim sampai pada kesimpulan tindakan termohon yang menetapkan pemohon sebagai tersangka tak sah dan mempunyai kekuatan hukum," ujar Hakim Estiono saat membacakan putusan, Selasa.

Hakim menganggap komisi antirasuah tak memiliki cukup bukti dalam penetapan tersangka yang diatur pada Pasal 184 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Kemudian, hakim menilai pasal yang digunakan KPK dalam penetapan tersangka terhadap Eddy Hiariej tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Adapun, pasal yang digunakan KPK yakni Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 KUHP.

"Mengadili, dalam eksepsi, menyatakan eksepsi termohon tidak dapat diterima seluruhnya," kata Hakim Estiono.