JAKARTA - Calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan mendapat pertanyaan dari masyarakat soal keberpihakan seorang pemimpin ketika menghadapi masalah kepentingan partai yang berbenturan dengan masyarakat.
Pertanyaan ini dilontarkan dalam acara Desak Anies di Kota Ambon, Maluku. Menjawabnya, Anies mengaku dilema untuk memihak kepada partai pengusungnya dalam pemilu atau mengutamakan kepentingan masyarakat saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022.
"Kita sering sekali di dalam hidup harus memutuskan di antara dilema-dilema. Saya sering mengalami dilema-dilema begitu," kata Anies, Senin, 15 Januari.
Namun, Anies mengklaim memiliki empat pertimbangan yang bisa diambil ketika menghadapi dilema benturan antara partai dan rakyat pada suatu kebijakan pemerintah.
Pertimbangannya adalah prinsip keadilan dan kesetaraan; kepentingan publik mana yang lebih besar; data, ilmu, dan fakta yang menjadi rujukan; serta landasan konvensi, aturan, dan undang-undang menyangkut masalah terkait.
"Urutannya tidak saya balik ini. Banyak di pemerintahan kalau ngambil keputusan itu dibalik. Nomor satu apa kata aturan dulu. Lah, banyak aturan kita yang tidak masuk akal, tidak sesuai kondisi lapangan," ungkap Anies.
BACA JUGA:
Contoh kasus dilema yang dihadapi Anies adalah masalah penentuan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2022.
Saat itu, pemerintah pusat merumuskan upah minimum berdasarkan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja. Kenaikan UMP DKI menggunakan Omnibus Law hanya 0,85 persen.
Namun, Anies lebih memilih merumuskan UMP 2022 menggunakan formula lain dan menghasilkan kenaikan 5,1 persen. Keputusan ini diprotes oleh pengusaha hingga Anies digugat ke pengadilan.
"Apa yang terjadi? Pengusaha semua protes ke saya. Kemudian pengusaha tentu saja telepon pimpinan partai karena kenal. (Pimpinan partai) pada ngontak semua ke saya," tutur Anies.
"Kepada mereka saya jawab begini, 'bapak ibu sekalian, kira-kira masuk akal sehat tidak rata-rata 8 persen terus sekarang jadi 0,8 persen?',"lanjutnya.