Divisi Infanteri Ringan ke-33 Militer Myanmar Dituding Bertanggung Jawab atas Kekerasan Mematikan pada Akhir Pekan
Militer Myanmar dikerahkan untuk menghadapi pengunjuk rasa anti kudeta militer. (Twitter/@YGNGoldenLand)

Bagikan:

JAKARTA - Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar Tom Andrews menyebut, Divisi Infanteri Ringan ke-33 yang dikerahkan rezim militer Myanmar menghadapi massa anti-kudeta 1 Februari, bertanggung jawab dalam beberapa aksi kekerasan dan mematikan di kawasan Mandalay, Myanmar. 

Setidaknya dua orang, termasuk seorang remaja laki-laki, ditembak mati ketika pasukan keamanan menembak langsung dan peluru karet ke kerumunan rezim anti-militer di dekat galangan kapal pemerintah pada hari Minggu di kota terbesar kedua Myanmar. Sementara ratusan lainnya luka-luka.

Media dan warga menyaksikan hampir 100 personel keamanan yang terdiri dari tentara dan polisi anti huru hara di lebih dari selusin truk tentara yang dikerahkan pada hari Minggu.

Setelah serangan fatal, Pelapor Khusus PBB untuk situasi Hak Asasi Manusia Myanmar Tom Andrews menulis di Twitter, bahwa tentara yang dilaporkan terlibat dalam tindakan represif di Mandalay berasal dari Divisi Infanteri Ringan ke-33 — divisi yang sama yang bertanggung jawab atas kejahatan kekejaman massal terhadap Rohingya di tahun 2017.

Gambar yang diambil oleh media lokal menunjukkan pasukan di tempat kejadian mengenakan kamuflase dengan lencana lengan bertuliskan '33'.

Setelah penembakan di Mandalay, Andrews mengutuk 'eskalasi berbahaya oleh junta dalam apa yang tampak seperti perang melawan rakyat Myanmar'.

“Dari meriam air hingga peluru karet, hingga gas air mata dan sekarang pasukan yang mengeras menembaki pengunjuk rasa damai. Kegilaan ini harus diakhiri, sekarang!” kata Andrews melansir The Irrawaddy.

militer myanmar
Militer Myanmar. (Twitter/@MyatWutYeeAung1)

Penembakan mematikan pada Hari Sabtu menyebabkan kematian kedua dan ketiga terkait protes di Myanmar sejak orang-orang di seluruh negeri turun ke jalan pada 6 Februari untuk menentang rezim militer. 

Sementara itu, Reuters dalam laporan khusus beberapa waktu lalu menyebut divisi infanteri termasuk di antara dua unit yang mengambil peran utama dalam konflik 2017, dimana militer Myanmar melakukan operasi di Myanmar barat, menyebabkan 700 ribu warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar. Operasi diketahui diikuti oleh Divisi Infanteri Ringan ke-33 dan ke-99.

Laporan itu mengatakan Divisi Infanteri Ringan ke-33 memimpin operasi militer di desa Inn Din, di mana Reuters mengungkap pembantaian 10 pria dan anak laki-laki Rohingya oleh tentara yang dibantu sejumlah pihak.

Menanggapi kudeta dan kekerasan terhadap warga sipil di Myanmar, Human Rights Watch (HRW) mendesak agar negara-negara segera menjatuhkan sanksi ekonomi yang ditargetkan, seperti larangan perjalanan global, dan pembekuan aset kepada semua anggota kabinet dan Dewan Administrasi Negara (SAC) hingga konglomerat bisnis militer Myanmar Economic Holding Corporation (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC). Selain itu, mereka mendesak sanksi pada anak perusahaan entitas dan semua direktur serta perwira konglomerat militer.

HRW juga meminta Dewan Keamanan PBB untuk memberlakukan embargo senjata global. Selain itu, HRW juga mendesak bahwa negara-negara harus meminta Rusia dan China untuk memotong penjualan dan bantuan mereka ke Myanmar, serta Ukraina, Turki, dan Israel.

"Tindakan tersebut harus memblokir pasokan langsung dan tidak langsung, penjualan, atau transfer semua senjata, amunisi, dan peralatan terkait militer lainnya, termasuk barang-barang penggunaan ganda seperti kendaraan, peralatan komunikasi, dan pengawasan, serta penyediaan pelatihan, intelijen, dan bantuan militer lainnya," Sebut HRW.