JAKARTA - Jenderal senior militer Ukraina mengakui pasukannya di garis depan mengalami kekurangan peluru artileri, terpaksa mengurangi beberapa operasi militer karena kurangnya bantuan asing.
Brigadir Jenderal Oleksandr Tarnavskyi berbicara setelah anggota parlemen dari Partai Republik menahan paket bantuan Amerika Serikat senilai 60 miliar dolar AS dan Hongaria memblokir dana Uni Eropa sebesar 50 miliar euro untuk Kyiv saat negara tersebut memerangi invasi Rusia.
"Ada masalah dengan amunisi, terutama (peluru) pasca-Soviet, yaitu (kaliber) 122 mm, 152 mm. Dan saat ini masalah ini terjadi di seluruh lini depan," katanya dalam sebuah wawancara kepada Reuters, seperti dikutip 19 Desember.
Tarnavskyi mengatakan kekurangan peluru artileri adalah "masalah yang sangat besar" dan berkurangnya bantuan militer asing berdampak pada medan perang.
"Jumlah yang kami miliki saat ini tidak mencukupi kebutuhan kami saat ini. Jadi, kami mendistribusikannya kembali. Kami merencanakan ulang tugas-tugas yang telah kami tetapkan untuk diri kami sendiri dan menjadikannya lebih kecil, karena kami perlu menyediakannya," katanya, tanpa memberikan rincian.
Komentar tersebut menggarisbawahi ketergantungan Kyiv pada bantuan militer Barat untuk melawan pasukan Rusia di garis depan sepanjang 1.000 km, hampir 22 bulan setelah konflik terbesar di Eropa sejak Perang Dunia Kedua.
Pasukan Rusia juga menghadapi masalah amunisi, kata Tarnavskyi, tanpa merinci lebih jauh.
Lebih jauh Jenderal Tarnavskyi mengatakan, pasukan Ukraina yang kelelahan di front tenggara bersikap defensif di beberapa wilayah namun berusaha menyerang di wilayah lain.
Pasukan Ukraina masih mengharapkan kemenangan tetapi akan mendapat manfaat dari cadangan untuk merotasi dan mengistirahatkan mereka, katanya.
"Di beberapa daerah, kami bergerak (ke pertahanan), dan di beberapa daerah lain kami melanjutkan tindakan ofensif – dengan manuver, tembakan dan bergerak maju. Dan kami sedang mempersiapkan cadangan kami untuk tindakan skala besar selanjutnya," paparnya.
Diketahui, Jenderal Tarnavskyi merupakan komandan kelompok operasional "Tavria", memimpin serangan balasan yang memaksa pasukan Rusia keluar dari kota selatan Kherson dan sisi barat Sungai Dnipro pada November 2022, keberhasilan besar terakhir di medan perang Kyiv.
Dia juga mempunyai peran penting dalam serangan skala besar di wilayah tenggara Zaporizhzhia tahun ini, meski hanya menghasilkan sedikit kemajuan dalam melawan parit dan ladang ranjau Rusia yang luas.
Rusia sendiri melakukan serangan di timur dan mencoba mengepung kota strategis di timur Avdiivka, yang pertahanannya diawasi oleh Tarnavskyi.
"Niat mereka (pasukan Rusia) tetap (sama). Satu-satunya hal adalah tindakan mereka berubah, taktik berubah, serangan dilakukan terus-menerus," jelasnya.
Menurutnya, situasi di Avdiivka berubah "setiap hari dan setiap malam" dengan pasukan Rusia secara teratur mengubah taktik mereka, setelah mencapai "sebagian keberhasilan di beberapa daerah pada kedalaman sekitar 1,5 hingga 2 km".
"Saya yakin kami dengan tegas mempertahankan garis-garis ini saat ini," katanya.
"Hari ini, musuh menekan kita dengan jumlah mereka. Mereka tidak pernah peduli dan tidak akan peduli dengan personel mereka," tandasnya.
Avdiivka secara luas dipandang penting bagi tujuan Rusia untuk merebut kendali penuh atas dua provinsi di timur Ukraina, Donetsk dan Lugansk, dua dari empat wilayah Ukraina yang menurut Rusia telah dianeksasi tetapi tidak memiliki kendali penuh.
Dikatakan, tidak ada pihak yang memperoleh keuntungan teritorial yang signifikan tahun ini dan sebagian besar pertempuran telah berkurang.
Jenderal Tarnavskyi sendiri mengatakan, semua brigade sedang mencari cara untuk memberikan istirahat kepada personel.
"Hari ini kita punya kesulitan tertentu dengan personel yang kita punya di garda depan. Ya, hari ini mereka kurang segar, kurang istirahat," ujarnya.
BACA JUGA:
"Setiap komandan harus memiliki cadangan," tambahnya.
Jenderal Tarnavskyi menambahkan, kondisi musim dingin, berkurangnya jarak pandang dan kurangnya perlindungan dari pepohonan yang tidak memiliki dedaunan, merupakan tantangan bagi kedua belah pihak.
"Tetapi kami memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam melakukan operasi militer dalam kondisi musim dingin. Logistik, dan evakuasi serta pergerakan peralatan dan personel sangatlah rumit," pungkasnya.