Bagikan:

SLEMAN - Sejumlah mahasiswa dan elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) menggelar aksi bertajuk 'Gejayan Kembali Memanggil' di simpang tiga Jalan Gejayan, Depok, Sleman, Sabtu, 16 Desember.

Pantauan di lapangan massa aksi melakukan long march dari bundaran UGM dan berhenti di simpang tiga Gejayan sekitar pukul 14.31 WIB. Mereka kemudian berdiri melingkar di tengah simpang dan berorasi.

Sebagian naik ke baliho raksasa untuk memasang spanduk. Ada tiga spanduk besar yang dipasang, salah satunya bertuliskan 'Nawa Bencana Jokowi' lengkap dengan 9 poin dosa Jokowi. Kemudian ada spanduk bergambar Munir dengan tulisan 'Lawan!' di bawahnya.

Menurut Humas ARB, Restu Baskara, ada beberapa tuntutan dalam aksi mereka. Pertama soal upah buruh yang jauh dari kata layak.

"Dengan adanya upah murah itu kemudian menyengsarakan kelas pekerja di Indonesia apalagi kenaikan upah tidak sampai 10 persen, kami menolak diterapkannya upah murah di Indonesia. Kami meminta kepada negara untuk menyejahterakan kaum buruh kelas pekerja di Indonesia yang sampai sekarang masih terlunta-lunta atas kondisi ekonomi yang terjadi," kata Restu Baskara di sela-sela aksi, Sabtu (16/12/2023).

Kedua soal pendidikan. Mereka menuntut kepada negara agar mewujudkan pendidikan gratis untuk semua.

"Karena pendidikan gratis adalah tanggungjawab negara yang sudah sesuai dengan konstitusi ini adalah tugas dari negara untuk mencerdaskan untuk seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mewujudkan pendidikan gratis," ujarnya.

Kemudian, ARB juga menyoroti sistem demokrasi Indonesia saat ini. Restu bilang, para elite politik Indonesia saat ini menerapkan praktik kolusi dan nepotisme yang mengkhianati amanat reformasi.

"Rakyat Indonesia sudah muak dengan tindakan elit-elit politik yang korupsi yang kemudian menerapkan kolusi nepotisme. Kami tahu bahwa di MK itu adalah produk reformasi tapi elite politik sekarang justru mengkhianati amanat dari reformasi yang sudah diperjuangkan dari 98 sampai sekarang," tuturnya.

Restu melanjutkan, demokrasi di Indonesia hari ini yang dipertontonkan oleh elite-elite politik dan pejabat publik merupakan dagelan yang konyol.

"Artinya ini adalah tugas kita bagaimana mengubah keadaan itu, mengkritik rezim hari ini yang neolib, kapitalistik, korup yang menindas rakyat," imbuhnya.

Sementara itu, Dewa Adi Wibawa yang juga humas ARB menambahkan, Presiden Jokowi saat ini bukan mengkhianati partai politik. Melainkan mengkhianati rakyat lewat manuver politik dan pembungkaman berekspresi melalui para pendukungnya.

"Jokowi memang selama ini dinarasikan sebagai pengkhianat tapi dalam hal ini Jokowi tidak mengkhianati partai politik apapun, Jokowi mengkhianati rakyat, mengkhianati cita-cita reformasi dengan melakukan kejahatan demokrasi, menghancurkan demokrasi dengan bentuk kriminalisasi aktivis, penangkapan aktivis, membungkam kebebasan bersuara," kata Dewa.

Dia menilai dalam hal ini Jokowi sudah mengkhianati reformasi. Alasannya, di masa pemerintahan Jokowi lah KPK dilemahkan.

"Bukti kedua adalah bagaimana melihat manuver dia dalam melemahkan KPK, Undang-Undang KPK adalah bukti manuver Jokowi dan sirkelnya telah membuat KPK tidak lagi menjadi lembaga independen, tapi lembaga subordinat di bawah eksekutif," bebernya.

Dewa juga menyoroti manuver Jokowi di MK guna memuluskan jalan anaknya, Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi cawapres.

“Bagaimana adik iparnya dipergunakan sedemikian rupa hingga akhirnya Gibran anaknya muncul sebagai cawapres instan dan terbukti memang Anwar Usman melakukan pelanggaran etik," urain anggota  aliansi ini.

"Jadi artinya Jokowi tidak mengkhianati partai, Jokowi mengkhianati reformasi dan rakyat," pungkasnya.