JAKARTA - Wakil Presiden RI ke-10 dan 12 Jusuf Kalla menilai mantan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin bukanlah tokoh radikal seperti yang dilontarkan oleh kelompok yang menamakan dirinya Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Alumni ITB. Menurutnya, Din Syamsuddin adalah tokoh yang sangat toleran dan merupakan pelopor antar umar beragama di kancah internasional.
Sehingga, JK merasa heran ketika ada tuduhan yang menyebut Din sebagai sosok yang tokoh radikal. Sebab, dia dianggap sosok yang kerap berkeliling ke banyak negara untuk membicarakan perdamaian antar umat beragama.
"Pak Din sangat tidak mungkin radikal. Dia adalah pelopor dialog antar agama dan itu tingkatannya internasional. Saya sering bilang ke dia, 'Pak Din, anda ini lebih hebat daripada Menlu. Selalu keliling dunia hanya untuk berdiskusi dalam hal perdamaian dan inter religius'. Jadi orang begitu tidak radikal. Sama sekali tidak radikal," katanya dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Senin, 15 Februari.
BACA JUGA:
Sementara terkait status Din sebagai ASN yang dianggap tak etis berpolitik seperti laporan GAR-ITB, JK menjelaskan dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut bukanlah ASN di struktur pemerintahan tapi fungsional akademis. Sehingga, Din dianggap tak melanggar etika ketika menyampaikan kritikan sesuai dengan latar belakang keilmuannya.
"ASN itu terbagi dua, ada ASN yang berada di struktur pemerintahan itu ASN yang tidak boleh kritik pemerintah karena dia berada di struktur pemerintah. ada ASN akademis sebagai dosen dan sebagainya, nah, disitulah posisi pak Din. Ini bukan soal etik mengkritik sebagai ASN tapi dia mempergunakan suatu keilmuannya untuk membicarakan sesuatu," ungkapnya.
Lagipula, banyak ASN berprofesi dosen yang berpandangan kritis terhadap pemerintah. Sehingga, dia meminta semua pihak dapat menghormati pandangan tersebut karena hal tersebut adalah pandangan profesional.
"Yang berpandangan kritis ke pemerintah bukan Pak Din saja tapi ada juga majelis rektor dari seluruh negeri kadang membuat pandangan yang berbeda dari pemerintah dan itu tidak apa-apa," ujarnya.
"Dosen dosen universitas katakanlah di UI ada Pak Faisal Basri, dia kan selalu kritik pemerintah itu tidak apa-apa dia professional, dan itu tidak melanggar etika ASN kecuali kalau dia sebagai Dirjen kemudian mengkritik pemerintah, itu baru salah. Kalau seorang akademisi walaupun dia seorang ASN kemudian mengemukakan pandangannya meskipun berbeda dengan pemerintah, itu pandangan profesi dan kita harus hormati itu," imbuh JK.
Ke depan, dia berharap tak ada lagi laporan semacam ini terhadap para akademisi termasuk mereka yang berstatus sebagai ASN dan memberikan pandangan kritisnya pada pemerintah. Sebab, pandangan semacam ini sangat diperlukan guna mencegah negara berubah menjadi otoriter.
"Jadi kalau ada yang mau mempersoalkan posisi Pak Din sebagai ASN dan pandangannya kepada pemerintah, berarti dia tidak ngerti tentang undang-undang, dan bahwa anggoat GAR itu alumni ITB tapi ITB secara institusi juga sudah mengatakan bahwa mereka bukan organisasi resmi dari ITB," pungkasnya.