JAKARTA - Mantan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin dilaporkan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) karena diduga melanggar kode etik terkait isu radikalisme. Namun, sejumlah tokoh membela Din dan di antaranya menilai yang dilakukannya sebagai bentuk mengkritisi pemerintahan.
Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) yang tergabung dalam Gerakan Anti Radikalisme (GAR) melaporkan Din Syamsuddin. Melalui sebuah surat tertanggal 28 Oktober 2020, ribuan alumni tersebut melaporkan Din yang tercatat sebagai ASN dengan jabatan dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam laporan tersebut, Din diduga melanggar kode etik sebagai ASN terkait sejumlah pernyataan dan tindakannya sejak 2019 hingga 2020. Ada sejumlah tindakan yang diduga menguatkan dugaan tersebut.
Pertama, Din dinilai bersikap konfrontasi terhadap lembaga negara dan terhadap keputusannya. Peristiwa ini dicatat oleh GAR ITB pada 29 Juni 2019.
Kedua, Din dianggap mendiskreditkan pemerintah, menstimulasi perlawanan terhadap pemerintah yang berisiko untuk terjadinya proses disintegrasi bangsa.
Ketiga, dia disebut melakukan framing yang menyesatkan kepada pemahaman masyarakat umum dan berupaya mencederai kredibilitas pemerintahan yang sah.
Keempat, posisi Din sebagai ASN yang menjadi pemimpin kelompok yang beroposisi terhadap pemerintah. Hal ini terjadi saat dirinya menjadi deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) pada tanggal 18 Agustus 2020.
BACA JUGA:
Diketahui, koalisi ini memang kerap mengkritisi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kelima, Din dinilai telah menyebarkan kebohongan, fitnah, dan mengagitasi publik agar bergerak melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah. Terakhir, Din dituding berupaya mengeksploitasi sentimen agama.
GAR-ITB kemudian berharap laporan ini mendapatkan perhatian serius dari KASN dan memberikan tindakan tegas terhadap Din sebagai ASN.
Menanggapi pelaporan ini, sejumlah pihak tak terkecuali tokoh yang ada duduk di pemerintahan angkat bicara termasuk Juru Bicara Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak. Dia mengatakan, kelompok yang menyebut Din berpaham radikal memiliki kebencian terhadap Din Syamsuddin.
"Bila ada kelompok yg menuduh @m_dinsyamsuddin radikal agaknya berhalusinasi dan penuh kebencian pribadi kpd beliau," kata Dahnil dikutip dari akun Twitternya @Dahnilanzar.
Sebagai mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, dia mengaku mengenal Din dengan baik. Selain itu, Dahnil juga mengakui Din memang kerap kritis dengan pemerintah namun ini adalah hal yang wajar untuk mengingatkan orang-orang yang berada di dalam pemerintahan.
"Sy kenal baik dg beliau. Saat ini beliau kritis, ya hrs krn beliau ada diluar pemerintahan dan fadhu kifayah mengingatkan kami yg di Pemerintahan," ungkapnya.
"Jadi terus terang,sbg orang yg kenal baik dg sepak terjang beliau sbg pemimpin umat lintas agama sekaligus sbg mantan pimpinan @muhammadiyah sy tak habis pikir ada pihak yg menyematkan cap radikalis kpd Pak Din. Bahkan sy berkeyakinan mrk yg menuduh tak se-moderat Pak Din," imbuh Dahnil.
BACA JUGA:
Bukan hanya Dahnil, tokoh lain seperti Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Muti juga angkat bicara soal pelaporan ini. Dia menyebut pelaporan ini tidak mendasar dan salah alamat karena dia menilai Din adalah tokoh yang aktif mendorong kerukunan umat beragama.
"Tuduhan itu jelas tidak berdasar dan salah alamat. Saya mengenal dekat Pak Din sebagai seorang yang sangat aktif mendorong moderasi beragama dan kerukunan intern dan antar umat beragama baik di dalam maupun luar negeri," kata Muti melalui keterangan tertulisnya.
Selain itu, dia menilai Din adalah seorang guru besar politik Islam yang terkemuka dan secara akademik, Din sangat diperlukan oleh FISIP UIN.
"Kalau Pak Din banyak melontarkan kritik itu adalah bagian dari panggilan iman, keilmuan, dan tanggung jawab kebangsaan. Kritik adalah hal yang sangat wajar dalam alam demokrasi dan diperlukan dalam penyelenggaraan negara. Jadi, semua pihak hendaknya tidak anti kritik yang konstruktif," tegasnya.
Pemerintah tegaskan tak akan lakukan proses hukum terhadap Din Syamsuddin
Selain dua tokoh tersebut, Menko Polhukam Mahfud MD juga angkat bicara perihal pelaporan ini dan menegaskan pemerintah tak akan melakukan proses hukum pada Din Syamsuddin. Dia bahkan mengatakan, pemerintah selama ini melihat Din sebagai tokoh kritis yang harus didengar.
"Pemerintah tetap menganggap Pak Din Syamsuddin tokoh yang kritis, yang kritiknya harus kita dengar. Coba kapan pemerintah pernah menyalahkan pernyataan Pak Din Syamsuddin apalagi sampai memprosesnya secara hukum? Tidak pernah dan insyaallah, tidak akan pernah karena kita anggap beliau itu tokoh," tegas eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut melalui keterangan video kepada wartawan, Minggu, 14 Februari.
Mahfud mengatakan, Din adalah sala satu tokoh yang mengusung moderasi beragama dan pernah menjadi utusan pemerintah untuk membicarakan Islam yang damai hingga ke luar negeri. Atas alasan inilah, maka tak ada niat dari pemerintah untuk mempersoalkan kiprah Din dalam kehidupan bernegara.
"Dia sebagai orang yang banyak kritis terhadap pemerintah, kita senang. Karena pemerintah itu senang terhadap orang kritik. Pemerintah, insyaallah, tidak akan pernah menangkap orang kritis," katanya.
"(Mereka, red) yang diproses hukum itu adalah orang yang nanti akan terbukti melanggar secara hukum. Mau kritis tapi sebenarnya destruktif. Tapi kalau seperti Pak Din Syamsuddin mana pernah kita persoalkan. Saya sering diskusi dengan beliau, jadi tidak ada masalah," imbuhnya.
Tak hanya Mahfud, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas juga angkat bicara soal pelaporan ini. Dia meminta semua pihak tak mudah memberikan label radikal kepada seseorang atau kelompok tertentu karena berpotensi merugikan.
"Kita harus seobjektif mungkin dalam melihat persoalan jangan sampai gegabah menilai seseorang radikal misalnya," katanya seperti dikutip dalam keterangan tertulis di situs Kementerian Agama.
Stigma atau cap negatif semacam ini kerap muncul karena adanya sumbatan komunikasi sehingga diperlukan komunikasi dua arah yang baik. Selain itu, dia juga menilai, hal ini muncul karena kurangnya informasi terhadap sikap serta perilaku seseorang atau kelompok sehingga perlu dilakukan klarifikasi atau tabayyun.
"Saya tidak setuju jika seseorang langsung dikatakan radikal. Kritis beda dengan radikal. Berpolitik memang bisa jadi pelanggaran seorang ASN namun soal lontaran kritik sah-sah saja sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Jokowi bahwa kritik itu tidak dilarang," tegasnya.
Sehingga ke depan, Yaqut meminta semua pihak tak langsung memberikan label radikal kepada seseorang atau kelompok. "Persoalan disiplin, kode etik, dan kode perilaku ASN sudah ada ranahnya. Namun, jangan sampai kita dengan mudah melabeli Pak Din radikal dan sebagainya," pungkasnya.