JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kupang memutuskan untuk mengabulkan sebagian gugatan perdata yang diajukan PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) melawan Pemerintah Provinsi NTT dan PT Flobamor. Mereka menggugat kerja sama Bangunan Guna Serah (BGS) pembangunan sarana wisata dan pengelolaan Pantai Pede, Manggarai Barat.
Gugatan ini terdaftar sebagai Perkara Perdata Nomor: 302/ PDT.G/ 2022/ PN.KPG. Dalam putusannya, hakim menghukum Pemerintah NTT dan PT Flobamor mengembalikan PT SIM sebagai mitra kerja sesuai Perjanjian Kerja Sama Nomor HK. 530 Tahun 2014 - No. 04/SIM/ Dirut/V/14.
“Memerintahkan TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk sementara waktu tidak mengalihkan, membebankan dan/ atau menyerahkan kepada pihak lain objek perjanjian kerja sama berupa bidang tanah dan bangunan di atasnya sebagaimana dimaksud: Perjanjian Kerja Sama No. HK. 530 Tahun 2014 - No. 04/ SIM/ Dirut/ V/ 14 tentang Pembangunan Hotel dan Fasilitas Pendukung Lainnya di Atas Tanah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kelurahan Gorontalo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur tertanggal 23 Mei 2014,” demikian dikutip dari petikan putusan yang dibacakan Majelis Hakim, Selasa, 14 November.
Putusan ini ditanggapi pengacara PT SIM, Khresna Guntarto yang menyebut pihak Pemprov NTT yang memecat dan mengusir perusahaan itu sebagai mitra merupakan perbuatan melanggar hukum. Begitu juga dengan penunjukan PT Flobamor sebagai mitra kerja sama pemanfaatan (KSP) bangunan eks Hotel Plago yang telah dibangun.
"Pemecatan sepihak dan pengusiran PT SIM, lalu terjadi penunjukan PT Flobamor sebagai mitra KSP pengganti adalah fakta yang telah terjadi dan tidak bisa dipungkiri yang mengakibatkan kerugian bagi PT SIM," ujar Khresna menanggapi putusan PN Kupang.
"Fakta tersebut tidak boleh diabaikan dengan seolah-olah tidak pernah terjadi pemecatan dan pengusiran terhadap PT SIM. Bahkan, terdapat Keputusan Gubernur Viktor Laiskodat yang menunjuk PT Flobamor sebagai mitra KSP menggantikan PT SIM," sambungnya.
BACA JUGA:
Ke depan, Khresna juga berharap putusan ini mempengaruhi penanganan dugaan tipikor yang menjerat PT SIM dan mitra usahanya PT Sarana Wisata Internusa (PT SWI) yang sudah menetapkan tiga orang tersangka yang diurus Kejaksaan Tinggi NTT. Sebab, persoalan kerja sama ini bukan ranah pidana tapi persata.
"Putusan hakim menegaskan tidak ada yang salah dalam suatu perjanjian perdata yang sudah disepakati termasuk perihal isi dan substansinya, seperti penilaian kontribusi. Apalagi, PT SIM sudah terbukti membangun bangunan hotel senilai kurang lebih Rp25 miliar dan sudah diambil secara melawan hukum oleh Pemprov NTT," ujarnya.
Lagipula, klaim jaksa Kejati NTT bersama BPKP NTT dan Penilai Pemerintah Provinsi dari BPAD NTT yang menyebut adanya kerugian negara sebesar Rp8,5 miliar dianggap Khresna menyesatkan. Alasannya, perhitungan tersebut sumbernya dari penilaian Penilai Pemerintah Provinsi BPAD NTT Tahun 2022 yang
Saat itu, Gubernur NTT Viktor Laiskodat yang menentukan nilai kontribusi seharusnya Rp1,5 miliar per tahun. “Perhitungan tersebut bias kepentingan, karena seharusnya auditor BPKP NTT melakukan penilaian dan perhitungan sendiri. Bagaimana mungkin menggunakan data dari BPAD NTT Tahun 2022,” ujarnya.
“Padahal, BPAD juga dulu adalah lembaga yang mengeluarkan penilaian kontribusi untuk PKS tanggal 23 Mei 2014. Lalu, berubah Gubernur, data dari BPAD selalu berubah-ubah penilaiannya pada 2019, 2020 dan terakhir 2022," sambung Khresna.
Khresna menduga terjadi konflik kepentingan antara Pemprov NTT, Kejati NTT dan BPKP NTT dalam melakukan kriminalisasi terhadap PT SIM dan PT SWI. Proses hukum yang menjerat perusahaan itu dinilai sewenang-wenang dan cenderung dipaksakan.
"Bahwa kriminalisasi terhadap PT. SIM dan PT. SWI terkait kerja sama BGS Pemanfaatan Aset Daerah Provinsi NTT di Pantai Pede merupakan preseden buruk terhadap iklim investasi di Indonesia. Padahal, Pemerintahan RI di bawah naungan Presiden Jokowi telah mengamanatkan agar investor diberikan jaminan kepastian hukum dalam berusaha," pungkas Khresna.