PKS Berkukuh Tolak Pilkada 2024, Khawatir Potensi Korban Jiwa Petugas Lebih Besar Dibanding Pemilu 2019
Ilustrasi/Ruang paripurna DPR (Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menyebut partainya tetap menolak pelaksanaan Pilkada selanjutnya digelar secara serentak pada tahun 2024. 

Mardani mengingatkan apa yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu. Saat itu, pemilihan presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota digelar secara bersamaan. 

Dampaknya, banyak anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang mengalami sakit hingga meninggal dunia akibat kelelahan melaksanakan proses demokrasi tersebut.

Menurut Mardani, jika Pilkada dipaksakan digelar tahun 2024, maka korban penyelenggara pemilu akan lebih besar. Sebab, hal ini menggabungkan antara pemilu nasional dan daerah.

"Pemaksaan untuk tetap menyelenggarakan pemilu dan pilkada serentak pada tahun 2024 berpotensi menimbulkan korban jiwa yang lebih besar dibandingkan Pemilu 2019. Tercatat, 894 meninggal dunia dan 5.175 petugas dirawat di rumah sakit kala itu. Kita tidak ingin kejadian serupa terulang," kata Mardani dalam keterangannya, Selasa, 9 Februari.

Mardani mengatakan, pemaksaan penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak di tahun 2024, berpeluang membuat preferensi calon pemilih lebih banyak menjadi transaksional dan emosional.

"Politik uang bisa kian masif, kontestasi tidak lagi berdasarkan gagasan program. Fungsi representasi juga menurun karena pejabat yang terpilih jadi merasa tidak punya kontrak sosial dengan pemilih," ucap dia.

Namun Mardani juga ragu pemilu serentak lebih efisien. "Sebagai contoh Alokasi APBN untuk Pemilu Serentak 2019 sebesar Rp25,12 triliun, sedangkan Pemilu 2014 yang belum serentak berbiaya Rp24,8 triliun," tuturnya.

Sebagai informasi, tanggal 26 November 2020, DPR RI membuat draf usulan Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu). RUU ini, jika disahkan, akan merevisi undang-undang kepemiluan yang telah ada.

Salah satu ketentuan yang termuat dalam RUU Pemilu adalah menormalisasi jadwal pilkada. Dari Pilkada 2017 dilanjutkan ke tahun 2022 dan Pilkada 2018 dilanjutkan ke 2023. RUU ini merevisi ketentuan UU Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur bahwa pilkada selanjutnya diserentakkan tahun 2024. 

Awalnya, hanya Fraksi PDI Perjuangan yang memberi catatan bahwa sebenarnya mereka menginginkan pilkada digelar tahun 2024. 

Kemudian, dikabarkan Presiden Joko Widodo melakukan diskusi dengan para pimpinan partai politik, yang salah satunya membahas soal penyelenggaraan pilkada.

Isyarat Jokowi menginginkan pilkada selanjutnya dilakukan secara serentak di tahun 2024 diungkapkan oleh Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar. 

"Kami berpendapat bahwa UU Pilkada ini mestinya dijalankan dulu. Ada tujuan yang hendak dicapai mengapa Pilkada diserentakkan di tahun 2024. Mari kita menjalankan UU yang ada sesuai dengan amanat UU itu, UU Nomor 10 Tahun 2016 pasal 201 ayat 8, Pilkada serentak kita laksanakan di tahun 2024,” kata Bahtiar, beberapa waktu lalu.

Waktu berjalan, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh menginstruksikan kader partainya di DPR tak melanjutkan revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dia juga meminta kader partainya mendukung Pilkada 2024.

Fraksi Partai Golkar DPR menyatakan saat ini menolak Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU) Pemilu untuk dibahas. Artinya, Golkar menolak ada normalisasi penyelenggaraan pilkada selanjutnya digelar tahun 2022 dan 2023.

Hal ini bertolak belakang dengan sikap Golkar sebelumnya yang ingin membahas RUU Pemilu usulan DPR tersebut. Dalam RUU tersebut, memuat usulan DPR bahwa kelanjutan Pilkada 2017 digelar tahun 2022 dan Pilkada 2018 dilanjutkan 2023.

Sebelumnya, PKB juga mengubah sikapnya yang ingin agar pembahasan RUU Pemilu usulan DPR menjadi ditunda. Sementara, sejumlah partai lain seperti PAN dan PPP menolak pembahasan RUU Pemilu secara keseluruhan, yang di dalamnya termasuk normalisasi Pilkada 2022 dan 2023.

Akhirnya, tinggal dua fraksi partai yakni PKS dan Partai Demokrat yang kukuh masih ingin membahas RUU Pemilu yang akan mengganti undang-undang kepemiluan yang ada, termasuk bakal menormalisasi penyelenggaraan pilkada