Ketika Partai Koalisi Ikut Pemerintah Ingin Pilkada 2024, yang Merugi adalah Rakyat dan KPU
Ilustrasi (Raga Granada/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Tanggal 26 November 2020, DPR RI membuat draf usulan Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu). RUU ini, jika disahkan, akan merevisi undang-undang kepemiluan yang telah ada.

Salah satu ketentuan yang termuat dalam RUU Pemilu adalah menormalisasi jadwal pilkada. Dari Pilkada 2017 dilanjutkan ke tahun 2022 dan Pilkada 2018 dilanjutkan ke 2023. RUU ini merevisi ketentuan UU Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur bahwa pilkada selanjutnya diserentakkan tahun 2024. 

Awalnya, hanya Fraksi PDI Perjuangan yang memberi catatan bahwa sebenarnya mereka menginginkan pilkada digelar tahun 2024. 

Kemudian, dikabarkan bahwa Presiden Joko Widodo melakukan diskusi dengan para pimpinan partai politik, yang salah satunya membahas soal penyelenggaraan pilkada.

Isyarat Jokowi menginginkan pilkada selanjutnya dilakukan secara serentak di tahun 2024 diungkapkan oleh Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar. 

"Kami berpendapat bahwa UU Pilkada ini mestinya dijalankan dulu. Ada tujuan yang hendak dicapai mengapa Pilkada diserentakkan di tahun 2024. Mari kita menjalankan UU yang ada sesuai dengan amanat UU itu, UU Nomor 10 Tahun 2016 pasal 201 ayat 8, Pilkada serentak kita laksanakan di tahun 2024,” kata Bahtiar, beberapa waktu lalu.

Waktu berjalan, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh menginstruksikan kader partainya di DPR RI tak melanjutkan revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dia juga meminta kader partainya mendukung Pilkada 2024.

Alasan perubahan sikap ini karena Indonesia saat ini tengah berjuang menghadapi pandemi COVID-19 dan berupaya melakukan pemulihan ekonomi. Sehingga, seluruh partai politik dalam koalisi pemerintah harus solid mendukung upaya pemulihan ini.

"Cita-cita dan tugas NasDem, adalah sama dengan Presiden, yakni untuk kemajuan dan masa depan bangsa yang lebih baik," kata Surya Paloh pada Sabtu, 6 Februari.

Fraksi Partai Golkar DPR RI menyatakan saat ini menolak Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU) Pemilu untuk dibahas. Artinya, Golkar menolak ada normalisasi penyelenggaraan pilkada selanjutnya digelar tahun 2022 dan 2023.

Hal ini bertolak belakang dengan sikap Golkar sebelumnya yang ingin membahas RUU Pemilu usulan DPR tersebut. Dalam RUU tersebut, memuat usulan DPR bahwa kelanjutan Pilkada 2017 digelar tahun 2022 dan Pilkada 2018 dilanjutkan 2023.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menjelaskan, pengubahan sikap Golkar menjadi enggan untuk membahas RUU Pemilu dilatarbelakangi oleh hasil diskusi antara Presiden Jokowi dengan pimpinan partai koalisi pemerintah.

"Pada akhirnya kemudian sampai pada suatu kesimpulan kita (Golkar) akan menunda pembahasan revisi UU. Ada diskusi-diskusi yang sangat intensif antara pemerintah dengan pimpinan parpol kami," kata Doli dalam diskusi virtual, Senin, 8 Februari.

Sebelumnya, PKB juga mengubah sikapnya yang ingin agar pembahasan RUU Pemilu usulan DPR menjadi ditunda. Sementara, sejumlah partai lain seperti PAN dan PPP menolak pembahasan RUU Pemilu secara keseluruhan, yang di dalamnya termasuk normalisasi Pilkada 2022 dan 2023.

Akhirnya, tinggal dua fraksi partai yakni PKS dan Partai Demokrat yang kukuh masih ingin membahas RUU Pemilu yang akan mengganti undang-undang kepemiluan yang ada, termasuk bakal menormalisasi penyelenggaraan pilkada.

Rakyat dan KPU dirugikan

Ketika ditanya siapa yang akan untung dan rugi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi menyebut jika Pilkada 2022 dan 2023 ditunda ke tahun 2024 akan merugikan rakyat dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Saya menduga, yang paling dirugikan jika pilkada digelar 2024 adalah rakyat, yang kedua adalah KPU," kata Burhanuddin dalam diskusi virtual, Senin, 8 Februari.

Menurut Burhanuddin, jika pemilihan di ratusan daerah ditunda 1 sampai 2 tahun ke depan, maka akan ada Penjabat (Pj) atau Pelaksana Tugas (Plt) yang ditunjuk Kementerian Dalam Negeri untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang habis masa waktunya.

"Kalau kepala daerah ditunjuk dari pemerintah, maka menjadi tidak legitimate. Saya juga tidak yakin KPU bisa melaksanakan pemilu secara serentak di tahun yang sama," ujar dia.

Sementara itu, Plt Ketua KPU Ilham Saputra juga pernah mengakui beban kerja penyelenggara pemilu lebih berat jika pemilihan kepala daerah (pilkada) digelar secara serentak tahun 2024.

"Tentu akan sangat berat apabila Pilkada 2024. Kenapa demikian? Karena tahapannya berbarengan bersamaan dengan pemilu nasional," kata Ilham.

Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan Pemilu 2019 yang menggabungkan pemilu nasional saja, Ilham mengakui banyak formulir C1 atau hasil rekapitulasi suara tidak selesai di tingkat kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS).

Belum lagi, jumlah partisipasi pemilih yang turun sampai 11 persen dari pemilu sebelumnya, hingga banyaknya petugas KPPS yang kelelahan dan meninggal dunia.

Selain itu, Ilham menyebut ada tantangan lain yang mesti dihadapi jika pilkada digelar pada 2024, yakni tahapan sosialisasi dan pendidikan kepada pemilih.

"Apakah masyarakat akan jenuh nanti disuguhi pilkada, pemilihan umum, dan sebagainnya. Tentu ini menjadi tantangan bagi penyelenggara pemilu. Apalagi, saya tidak tahu kapan selesai pandemi," ungkap Ilham.