KPK Tahan Walkot Bima Muhammad Lutfi Tersangka Korupsi, Diduga Terima Fee Rp8,6 Miliar
Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers kasus Wali Kota Bima Muhammad Lutfi/FOTO: Wardhany Tsa Tsia-VOI

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Wali Kota Bima Muhammad Lutfi. Dia menjadi tersangka dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa proyek fiktif Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat hingga BPBD Bima.

"Dilakukan penahanan pertama pada tersangka MLI selama 20 hari mulai 5 Oktober 2023 sampai 24 Oktober 2023 di Rutan KPK," kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 6 Oktober.

Lutfi bersama salah satu keluarga intinya diduga mengondisikan proyek yang akan dikerjakan oleh Pemerintah Kota Bima sekitar tahun 2019. Tahap awal pengondisian dilakukan dengan meminta dokumen berbagai proyek yang ada di Dinas PUPR dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pemkot Bima.

"Pembahasan lanjutannya yakni MLI memerintahkan beberapa pejabat di Dinas PUPR dan BPBD Pemkot Bima untuk menyusun berbagai proyek yang memiliki nilai anggaran besar dan proses penyusunannya dilakukan di rumah dinas jabatan Walikota Bima," ungkap Firli.

Adapun nilai proyek di Dinas PUPR dan BPBD Pemkot Bima untuk Tahun Anggaran 2019 sampai dengan 2020 mencapai puluhan miliar rupiah. Kemudian Lutfi secara sepihak menentukan kontraktor yang bersedia untuk dimenangkan dalam pekerjaan proyek dimaksud.

Lelang, sambung Firli, hanya dilakukan sebagai formalitas. “Faktualnya para pemenang lelang tidak memenuhi kualifikasi persyaratan sebagaimana ketentuan," tegasnya.

Lutfi kemudian menerima setoran uang dari para kontraktor yang dimenangkan dengan jumlah hingga mencapai Rp8,6 miliar. Salah satu proyek yang digarap adalah pelebaran jalan Nungga Toloweri serta pengadaan listrik dan PJU perumahan Oi'Foo.

"Teknis penyetoran uangnya melalui transfer rekening bank atas nama orang-orang kepercayaan MLI termasuk anggota keluarganya," ujar Firli.

Selain menerima fee, Lutfi diduga menerima gratifikasi dari pihak lain.

"Tim penyidik tentu terus lakukan pendalaman lebih lanjut," jelas Firli.

Atas perbuatannya itu, Lutfi disangka melanggar Pasal 12 huruf (i) dan atau Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.