JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati berkeyakinan besar bahwa pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama 2021 berada di zona merah alias negatif.
“Hampir bisa dipastikan bahwa akan negatif, karena kita (pemerintah) itu menghitung berdasarkan aggregator periode yang sama tahun sebelumnya,” katanya kepada VOI Jumat, 5 Februari.
Sebagai informasi, angka pertumbuhan pada kuartal I/2020 masih berada di level positif dengan catatan 2,97 persen. Faktor pandemi tahun inii dipercaya membuat ruang gerak pertumbuhan tidak akan melebihi raihan pada periode triwulan pertama 2020.
“Kecuali ada keajaiban mungkin bisa (melebihi), namun saya melihat masih akan tertekan,” tuturnya.
Lebih lanjut, ekonom itu menilai bahwa anjloknya impor barang modal dan dan barang konsumsi tahun ini adalah momentum untuk mengoptimalkan potensi pasar dalam negeri untuk menghasilkan produk penunjang kegiatan ekonomi.
“Semua negara sekarang pasang perlindungan sehingga kita kesulitan untuk mencari barang modal. Langkah itu juga bisa dilihat bahwa mereka mengutamakan pasar dalam negeri ketimbang pemenuhan ekspor. Untuk itu inilah momentum kita juga untuk membuat barrier terhadap gempuran produk asing,” tegasnya.
BACA JUGA:
Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada sepanjang 2020 mengalami kontraksi minus 2,07 persen secara tahunan dibandingkan dengan periode 2019.
BPS mengungkapkan bahwa bahwa produk domestik bruto (PDB) 2020 atas dasar harga berlaku sebesar Rp15.434,2 triliun atau Rp56,9 juta per kapita.
Salah satu penyebab tertekannya pertumbuhan adalah kontraksi pada konsumsi rumah tangga yang berada di angka minus 2,63 persen.
Ini menandakan bahwa daya beli masyarakat berada dalam kondisi yang tidak bagus sama sekali. Padahal, konsumsi rumah tangga beserta investasi berkontribusi sebesar 89,4 persen dari pembentukan PDB tahun lalu.